f 11/11/18 ~ Urwatun Wursqa
  • Pondok Pesantren Mafaza Yogyakarta

    Sebuah Pondok pesantren yang ada di Yogyakarta, tempatku membangun karakter dan mental dengan ilmu agama yang diajarkan...

  • Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    Sebuah kampus yang akan membangun kader pemimpin bangsa dan penegak hukum yang amanah dan dapat dipercaya http://uin-suka.ac.id/...

  • Kampus MAN Lab. UIN Yogyakarta

    Lembaga setingkat SMA, yang dalam lembaga itu aku memulai belajar berorganisasi, belajar bertanggung jawab, serta belajar menjadi pemimpin...

  • Kementrian Agama Republik Indonesia

    Salah satu kementrian yang ada dalam susunan penerintahan, yang suatu saat nanti aku akan menjadi pemimpin di Kementrian Agama Tersebut...

Minggu, 11 November 2018

Review Jurnal-Menggali Teks, Meninggalkan Makna: Pemikiran Singkat Muhammad Syahrur Tentang Poligami-Karya Lindra Darnella


Nama               : Ali Mutohar
NIM                : 16350039
Jurusan            : Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah
Kelas               : AS-B
Mata Kuliah    : Tafsir Ayat Hukum

TUGAS UTS
REVIEW JURNAL
Judul Artikel
:
Menggali Teks, Meninggalkan Makna: Pemikiran Singkat Muhammad Syahrur Tentang Poligami
Penulis Artikel
:
Lindra Darnela
Nama Jurnal
:
Jurnal Asy-Syir’ah
Volume & Halaman
:
Vol. 42. No. 1, Hlm. 205-224
Tahun
:
2008
Sumber
:
http://asy-syirah.uin-suka.com/index.php/AS/article/view/257 diakses pada tanggal 28 Maret 2018, pukul 19.49 WIB.

Abstrak
Artikel ini ditulis oleh Lindra Darnela seorang dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lindra Darnela menyatakan bahwa  Muhammad Syahrur membatasi bahasan poligami menjadi dua batasan yaitu batasan dari segi kualita, maksimal empat istri dan batasan dari segi kuantitas, istri kedua, ketiga, dan keempat harus seorang janda yang ditinggal suaminya. Syahrur menafsirkan surat an-Nisa ayat 4 dengan membolehkan poligami dengan dua kondisi, yaitu pertama, istri kedua , ketiga dan kemepat harus seorang janda dan yang kedua harus adil kepada semua istri. Apabila syarat itu tidak dipenuhi maka poligami itu dianggap gagal.
Pendahuluan
            Poligami dari dulu hingga sekarang terus saja menuai kritik dari berbagai pihak, baik dari pemikir-pemikir barat maupun penikir-pemikir Islam. Dalam Islam sendiri terdapat minimal tiga sikap mengenai praktik poligami. Sikap pertama memandang bahwa poligami sebagai ketetapan agama yang boloh dilakukan oleh semua orang selama sesuai dengan aturan-aturan Islam. Sikap kedua yaitu membolehkan poligami dengan batasan-batasan tertentu yang belum ada sebelumnya. Sikap ketiga yaitu mengharamkan poligami dalam segala kondisi dan menganggapnya sebagai dosa dan harus dijatuhi hukuman.
            Sikap pertama didapati di negara Kuwait, Kerajaan Arab Saudi, dan negara Arab Lainnya. Sikap kedua didapati di negara Maroko yang membatasi poligami dengan syarat suami mampu berbuat adil, dan di Irak yang membatasi poligami dengan janji suami mampu berbuat adil. Sedangkan sikap ketiga didapati di negara Tunisia yang menghukum warga negaranya yang melakkan poligami.
            Kecenderungan orang yang menolak poligami itu didasarkan pada berkurangnya kedudukan atau derajat perempuan. Selain itu praktik poligami ditakutkan akan memunculkan permusuhan dan kesenjangan sosial antara istri-istri dan kerabatnya. Hal inilah yang membuat Syahrur memberikan perhatian khusus mengenai praktik poligami dengan membahas di dalam bukunya yang berjudul Nahw Usul Jadidah li al-Fiqih Islami, Fiqhul Mar’ab. Dalam artikel ini Lindra Darnela menjelaskan bagaimana Syahrur menafsirkan ayat Al-Qur’an dan memahaminya sesuai instimbat hukum yang khas menjadi landasan berfikrnya.
Biografi Muhammad Syahrur dan  Metode Pemikirannya
Nama lengkap Syahrur adalah Ibnu Daib Syahrur, lahir di Damaskus (Syiria) pada tanggal 11 Maret 1938, seorang pemikir muslim kontemporer walaupun bukan berlatar belakang pendidikan keislaman. Ia seorang ahli dalam bidang teknik sipil.
Penafsiran ulang ayat-ayat al-Qur’an menjadi salah satu hal yang diperhatiakan Syahrur, dengan mengemukakan istilah sabat an-nas wa tagayyur al-mubtawa, artinya Al-Qur’an itu teksnya tetap, namun muatan makna teksnya ditafsirkan secara dinamis. Metode yang digunakan Syahrur untuk mengkaji kembali Al-Qur’an adalah al-manhaj at-tarikh al-ilmi (metode historis ilmiah). Metode ini menggunakan prinsip
a.       Adanya keterkaitan antara ucapan dan bahasa sebagai alat menyampaikan gagasan
b.      Pengetahuan manusia bersifat inderawi dan personifikasi.
c.       Mengingkari adanya sinonim, karena setiap kata mempunyai makna tersendiri.
d.      Memahami dengan tartil, yaitu mengaitkan dengan ayat lain.

Poligami Menurut Sayhrur
            Syahrur berpendapat bahwa poligami tidak hanya diperbolehkan namun juga sangat dianjurkan dengan dua  syarat, pertama, istri kedua, ketiga, dan keempat merupakan janda-janda yang mempunyai anak yatim. Kedua, Suami harus mempunyai rasa khawatir jika tidak mampu berbuat adil terhadap anak yatim. Apabila kedua syarat itu tidak dapat terpenuhi semua maka anjuran poligami itu menjadi gugur.
            Kedua syarat itu diambil berdasarkan “struktur kaidah bahasa” dalam surat an-Nisa ayat 4, bahwa Allah SWT sangat memulikan janda dengan menggunakan kata-kata yang halus ma taba lakum (perempuan-perempuan yang kamu senangi) bukan “mashi’tum min an-nisa”. Syahrur juga melihat bayaknya laki-laki yang berniat poligami utuk mendapatkan ridha Allah SWT padahal dia tidak akan mampu berbuat adil dalam memberi nafkah untuk anak dan istri-istrinya. Untuk itu Allah berfirman dalam lanjutan surat an-Nisa ayat 4 tersebut. Hai ini menjadi perintah larangan berpoligami dan mencukupkan dengan seorang istri saja apabila tidak mampu berbuat adil.
           
Analisis terhadap Kerangka Berpikir Syahrur
            Kerangka berfikir syahrur menggunakan analisis teks kebahasaan, dimana pemikiran syahrur tetap dalam bingkai epistemologi bayani (ekplanatori), yaitu sebuah episteme yang titik tolaknya berangkat dari teks (nas). Sedangkan metode yang digunakan dalam penafsiran, Syahrur menggunakan metode maudhu’i (tematis), yang didefinisikan Quraisy Shihab sebagai tafsir yang menetapkan suatu topik tertentu dengan jalan menghimpun sebagaian atau seluruh ayat dari berbagai surat yang berkaitan dengan topik tersebut untuk kemudian dikaitkan dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan secara menyeluruh mengenai suatu hukum dalam Al-Qur’an.
           
Pendapat Mufasir tentang Poligami
Fazlur Rahman menafsirkan bahwa yang diinginkan Al-Qur’an itu bukan praktik beristri banyak, karena laki-laki dan perempuan itu mempunyai hak yang sama. Syarat mengenai keadilan merupakan kiasan bahwa laki-laki tidak akan pernah bisa berbuat adil. Sebagaimana surat an-Nisa ayat 129, “kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin bebuat demikian”.
Qosim Amin berpendapat bahwa poligami hanya dapat dilakukan dengan keadaan sangat terpaksa. Apabila dilakukan dalam keadaan mormal maka akan menyakiti hati istri pertama karena harus berbagi kasih dengan perempuan lain. Quraisy Shihab mengkiaskan poligami sebagai pintu darurat yang hanya bisa dibuka pada saat tertentu saja.
Analisa terhadap Poligami
            Penulis mengungkapkan bahwa perempuan dalam Islam dipandang mengurung perempuan dalam “naungan ideologi patriarki”, pandangan bahwa kaum laki-laki lebih unggul dari kamu perempuan. Sehingga tidak mungkin berbicara hak-hak perempuan secara adil, tanpa melihat kinerja metode ini dalam ilmu tafsir atau ilmu fikih yang sarat akan muatan kepentingan.
            Setiap manusia mempunyai hak yang sama yaitu pertama, hak yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan atau yang dikenal Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, hak yang bersumber dari tindakan manusia yang bebas berpendapat, bersuara, berserikat, dan membuat pilihan-pilihan perjanjian. Dalam poligami hak-hak perempuan untuk memperoleh kesenangan seksual dibatasi pada satu banding  empat dengan seorang laki-laki. Kontradiksi ini menjadi akar utama persoalan hak-hak dan larangan-larangan bagi tingkah laku seksual perempuan.
            Laki-laki diperbolekan menikahi perempuan lebih dari satu orang karena ketika perang Uhud banyak tentara Islam yang syahid dan meninggalkan istri dan anaknya. Dari sini disyaratkannya menikahi janda-janda maksimal empat orang.
Kebolehan poligami bukanlah persoalan pokok yang ada dalam Al-Qur’an, namun hanya sebagai alternatif yang dapat dilaksanakan pada kondisi tertentu saja dengan syarat tertentu pula. Beberapa argumentasi yang mendukung masalah poligami: pertama, poligami diperbolehkan saat orang arab mempraktikannya tanpa batasan termasuk jumlah istri yang boleh dinikahi. Kedua, tidak ada satupun ayat yang jelas menunjukkan kebolehan poligami dalam Al-Qur’an, yang ada hanya ayat yang didahului masalah anak yatim diikuti kebolehan poligami dengan syarat harus berbuat adil. Ketiga, Gaya bahasa dalam ayat poligami berupa amr (perintah), bukan khabar (berita). Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari pada diperbolehkannya poligami.
Penutup
            Diakhir artikel penulis memberi kesimpulan bahwa hingga saat ini persoalan poligami masih menjadi perdebatan diantara pemikir-pemikir Islam. Masing-masing dari mereka menggunkan metode istimbat yang berbeda sehingga pemikiran merekapun berbeda-beda sesuai perspektif mereka. Penafsiran Syahrur dalam memahami surah an-Nisa ayat 4 menggunakan metode “kembali kepada teks” secara utuh buka parsial sehingga praktik poligami itu tidak akan bisa terlaksana.

Tugas, Fungsi, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim


Tugas, Fungsi, Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim



Adapun tugas-tugas pokok hakim di pengadilan agama adalah sebagai berikut :
a.       Membantu mencari keadilan (Pasal 5 ayat (2) UU. No. 14/1970);
b.      Mengatasi segala hambatan dan rintangan (Pasal 5 ayat (2) UU. No. 14/70);
c.       Mendamaikan para pihak yang bersengketa (Pasal 30 HIR/ Pasal 154 Rbg);
d.      Memimpin persidangan (Pasal 15 ayat (2) UU. 14/1970);
e.       Memeriksa dan mengadili perkara (Pasal 2 (1) UU. 14/1970);
f.       Meminitur berkas perkara (184 (3), 186 (2) HIR);
g.      Mengawasi pelaksanaan putusan (Pasal 33 (2) UU. 14/1970);
h.      Memberikan pengayoman kepada pencari keadilan (Pasal 27 (1) UU. 14/1970);
i.        Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 (1) 14/70);
j.        Mengawasi penasehat hukum.[1]
Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya.[2] Hakim menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan. Disamping itu, hakim mempunyai kewajiban ganda, disatu pihak hakim merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukum) terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, dilain pihak hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang dituntut untuk dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Dalam undang-undang disebutkan kewajiban pengadilan adalah : tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[3] Artinya hakim sebagai unsur pengadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[4] Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut seperti persepsi masyarakat tentang tentang keadilan, kepastian, hukum dan kemamfaatan.
Sedangkan fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.[5] Artinya hakim mengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas.
Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk baik perkara tersebut telah di atur dalam Undang-undang maupun yang tidak terdapat ketentuannya. Disini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya hakim harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undang untuk memeriksa dan mengadili perkara, dengan penilaian yang obyektif pula karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh memihak salah satu pihak.



[1] H.A. Muktiarto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hlm,30
[2] Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung : Rosda Karya , 1997), hlm. 104.
[3] Undang-undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 Ayat (1) dan lihat  Undang-undang Nomor  7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Pasal 56 ayat (1)
[4] Undang-undang Nomor  4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 Ayat (1)  
[5] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara.,.hlm.38.


MAKALAH PEMIMPIN WANITA DAN LARANGAN BERAMBISI MENJADI PEMIMPIN


MAKALAH
PEMIMPIN WANITA DAN  
LARANGAN BERAMBISI MENJADI PEMIMPIN
Mahasiswa AS – UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

  


Disusun Oleh:
Nadzif Arfa Az-Zuhri (16350038)
Ali Mutohar (16350039)

Dosen Pembimbing:
Drs. Abu Bakar Abak, M.M.

JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018

BAB I
PENDAHULUAN
            Pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk mendarmabaktikan dirinya kepada-Nya. Islam datang membawa ajaran yang egaliter, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda sehingga laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan. Dengan demikian, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan kesempatan untuk berkarya.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah perempuan merupakan bagian integral dari masyarakat. Secara biologis perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi dari segi hak dan kewajiban sebagai manusia sama. Jadi, keberadaan perempuan bukan sekedar pelengkap bagi laki-laki, melainkan mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat domestik seperti rumah tangga maupun publik. Namun demikian, kenyataan yang terjadi di masyarakat seringkali tidak sesuai dengan pernyataan di atas, di mana masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Islam yang datangnya belakangan telah mengangkat derajat kaum wanita dan telah menempatkan kaum wanita secara proporsional dan sesuai dengan fitrahnya. Islam tidak melarang wanita untuk bekerja di luar rumah tetapi mengapa banyak kaum muslimin yang mengekang wanita? Banyak umat Islam yang menahan wanita Islam untuk tetap di rumah dengan mengatasnamakan agama. Para wanita hanya diperkenankan mengurus rumah tangga, suami dan anak dan tidak diperkenankan untuk membuktikan kiprahnya di tengah masyarakat sehingga saat-saat penting yang seharusnya dipegang kaum muslimah, dipegang oleh laki-laki atau wanita yang tidak mencerminkan akhlaq islami. Apakah demikian ajaran islam yang benar?
Dalam makalah ini akan di bahas bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap wanita yang bekerja diluar rumah dan menjadi seorang pemimpin khususnya pemimpin negara. Bolehkah searang wanita menjadi pemimpin? Dalam bidang apakah yang dibolehkan dalam pandangan Islam dan dalam hal apa yang dilarang?
Setelah mengetahui boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin selanjutnya akan dibahas larangan untuk berambisi menjadi pemimpin. Dimana pada masa sekarang banyak orang yang berebut kursi untuk menjadi pemimpin rakyat, sedangkan Islam melarangnya.

BAB I
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang sehingga ia memperoleh rasa hormat (respect), pengakuan (recognition), kepercayaan (trust), ketaatan (obedience), dan kesetiaan (loyalty) untuk memimpin kelompoknya dalam kehidupan bersama menuju cita-cita.[1]
Kepemimpinan (leadership) diartikan juga sebagai proses mempengaruhi yang dilakukah oleh seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan atau sasaran bersama yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian kepemimpinan di atas, pemimpin dapat didefinisikan sebagai individu yang memiliki pengaruh terhadap individu lain dalam sebuah system untuk mencapai tujuan bersama.
B.     KEPEMIMPINAN WANITA
1.      Teks Hadis dan Terjemah
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّه بِكَلِمَةٍ سمعتها  من رسول لله صلي الله عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اهل فَارِس قد مَلَّكُوا عليهم بنت كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة (رواه البخاري)[2]
Artinya: 
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakroh mengatakan : Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari perang jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka Ashabul Jamal dan berperang bersama mereka, ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda: Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. " ( HR. Al Bukhori)
2.      Asbab al-Wurud Hadist
Da’wah Islamiyah yang dilakukan Rosulullah ke berbagai daerah dan negara di antaranya dilakukan dengan mengirimkan surat kepada pembesar-pembesar kerajaan. Salah satu kerajaan yang mendapatkan surat dari Nabi adalah Kisra Persia. Berikut kisahnya: ”Rosulullah mengutus ’Abdullah bin Hudzafah as-Sami untuk mengirimkan surat kepada pembesar Bahrain. Setelah itu pembesar Bahrain menyampaikan surat tersebut kepada Kisra. Setelah membaca surat dari Rosulullah, ia menolak dan bahkan menyobek-nyobek surat Rosul. Peristiwa ini didengar Rosulullah, kemudian beliau bersabda: ”Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-robek (diri dan kerajaan) orang itu”.
Selang beberapa waktu kemudian, terjadi suksesi dan pertumpahan darah yang menyebabkan kematian sang raja. Kerajaan tersebut mengalami kekacauan selama kurang lebih tiga tahun. Pada akhirnya, diangkatlah Buwaran binti Syairawaih bi Kisra (cucu Kisra) sebagai ratu karena ayah dan saudara laki-lakinya terbunuh dalam peristiwa tersebut. Hal ini terjadi sekitar tahun 9 H. Mendengar hal ini, Rosulullah bersabda : ”Tidak akan beruntung suatu kaum yang diperintah perempuan”.
3.      Kandungan Hadits
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin. Sedangkan Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam perkara pidana.[3]
Adapun Ibnu jarir At-tobari membolehkan wanita menjadi pemimpin secara mutlak.[4] Begitu juga Yusuf Al-Qordhawi memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.[5]

C.    LARANGAN BERAMBISI MENJADI PEMIMPIN
1.      Hadis Rasulullah SAW
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ (أخرجه البخاري فى كتاب الأيمان والنذور باب قول الله تعالى لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم)

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'man Muhammad bin Fadhl telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim telah menceritakan kepada kami Al Hasan telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Abdurrahman bin Samurah, Janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika engkau diberi (jabatan) karena meminta, kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tidak meminta, kamu akan ditolong, dan jika kamu melakukan sumpah, kemudian kamu melihat suatu yang lebih baik, bayarlah kaffarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik." (H.R.  Bukhari nomor 6132 kitab Iman dan bab Allah tidak menyiksa sumpah yang kalian lakukan dengan main-main)
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Zar al-Gifari ra. Ia berkata: “Wahai Rasulullah saw., tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.[6]
Artinya: 
Wahai Abu Zar, sesungguhnya engkau adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan pemerintahan itu adalah sebagai amanat dan sebenarnya jabatan sedemikian itu adalah merupakan kerendahan serta penyesalan pada hari kiamat bagi orang yang tidak dapat menunaikan amanatnya, kecuali seseorang yang mengambil amanat itu dengan hak sebagaimana mestinya dan menunaikan apa yang dibebankan atas dirinya perihal amanat yang dipikulkan tadi. (Riwayat Muslim).
Al-Imam Nawawi rahimahullah memaparkan hadis Abu Zar di atas dalam kitab beliau Riyadu al-Salihin, bab Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.[7]
2.      Penjelasan Umum
Demikian besarnya perhatian Rasulullah berkenaan dengan yang namanya jabatan, karena itu merupakan masalah krusial bagi masyrakat. Tidak jarang kita jumpai orang-orang yang menginginkan, mencalonkan, dan berupaya dengan segala macam cara guna mendapatkan jabatan yang di inginkan. Padahal jelas, orang yang meminta jabatan bahkan sampai mengeluarkan biaya besar, maka usaha pertama yang akan di lakukannya adalah bagaimana modal yang dia keluarkan bias segera kembali sembari mencari untung lebih dari jabatannya itu.
Ketamakan dan keserakahan telah membutakan orang-orang yang mendapatkan jabatan dengan modal, sehigga dalam perbuatannya tidak mencerminkan seorang pemimpin yang teladan serta patut di contoh.
Padahal hal itu telah menjadi trend dan bahkan mungkin suatu kewajiban atau syarat mutlak bagi orang-orang yang ingin mendapatkan jabatan, baik public, peradilan, penegakan hukum, ekonomi dan sebagainya. Bahkan Rasulullah bersabda bagi para pencari jabatan sebagai seorang  yang meminta untuk di jadikan pejabat peradilan
مَنْ طَلَبَ قَضَأَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ جَوْرَهُ فَلَهُ الْجنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جُوْرُهُ عَدْلُهُ فَلَهُ النَّارُ
Artinya : Barangsiapa yang meminta jabatan untuk mengurusi perkara orang muslim, kemudian dia mendpatkannya, maka apabila keadilannya dapat mengalahkan ketidakjujurannya, maka baginya surga; dan barangsiapa ketidakjujurannya mengalahjan keadilannya, maka baginya neraka.
Jabatan adalah amanah, bilamana seseorang mendapatkan amanat tersebut tanpa ia harus meminta Allah sendiri yang akan memberikan pertolongan dan kekuatan untuk bissa menjalankan amanah tersebut, dan dalam kepemimpinannya Insya Allah akan menjadi pemimpin yang adil, memahami rakyat, mengutamajan kepentingan umum. Akan tetapi bagi mereka yang mendapatkan jabatan dengan cara meminta apalagi sampai mengeluarkan modal, maka Allah tidak menjamin bahwsa dia akan menjadi sosok pemimpin yang adil dan bila menjalankan tugas dengan baik.
3.      Faedah Hadis
a.       Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk mendapatkannya.
b.       Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah tersebut.
c.       Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
d.      Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbaiki urusan kepemimpinannya.
e.       Larangan memberikan jabatan pemerintahan atau jabatan penting lainnya kepada orang yang tamak untuk memperolehnya. Sebab orang seperti itu akan menyalahgunakan jabatannya bagi kepentingan pribadinya.
f.       Tidak ada larangan bagi orang yang sanggup berlaku adil untuk mengajukan diri sebagai pemimpin yang akan mengurus permasalahan umat.
g.         Pertolongan Allah dan dukungan umat akan dating pada mereka yang bertekad untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan kemadharatan.
h.         Berbagai macam permasalahan harys diserahkan pada orang yang layak dan ahli dalam menyelesaikannya.

4.      Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/ kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat. Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
إِذَا ضُيِّئَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُقال كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَال إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا َانْتَظِرِ السَّاعَةُ
Artinya:
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah  tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?' Beliau menjawab: 'Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat".” (HR. Bukhari no. 59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu 'anhu berkata: "Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: "Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah". Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
إِنّا لا نُوَلّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَ لا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
"Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)


KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:
1.      Kepemimpinan dalam bahasa arab di kenal melalui/dalam beberapa istilah, yaitu ; khalifah (khilafah),  imaroh dan imamah. Kata khalifah berasal dari bahasa arab khalafa yang dalam al-qur'an disebut sebanyak 127 kali. Kepemimpinan (leadership) diartikan juga sebagai proses mempengaruhi yang dilakukah oleh seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan atau sasaran bersama yang telah ditetapkan.
2.      Dalam Islam wanita dilarang menjadi pemimpin utama suatu negara atau presiden. Sedangkan untuk menjadi pemimpin di bawahnya diperbolehkan seperti kepala daerah, kepala dinas, dan sebagainya.
3.      Meminta jabatan atau berambisi menjadi pemimpin dalam islam juga dilarang, dan Allah akan mengabaikan orang yang berambisi menjadi pemimpin tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Agama R.I., 2013. Al-Qur’an dan Terjemahannya Disertai Asbabun Nuzul, Klaten: CV. Sahabat.
Lidwa Pusaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadits
Al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi., t.th.  Sahih Muslim, Jilid. III Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi.
Al-Hilali., Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, 2008. Bahjatun Nazirin Syarh Riyadis Salihin, Jilid. II, terj. Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i .
Al Asqolani, Ahmad bin Ali bin Hajar., 2001.  Bulughul Marom Kitabul Qodo, Berut: Darur Fikr.
Azizi, Qadri.2002. Elektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Nasional dan Hukum Umum. Cet. I, Yogyakarta: Gama Media.
Al Qardhawi,Yusuf., 2008.  Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, Jakarta: Pustaka Al-Kautsa.
Kartono.2011. Pemimpin Dan Kepemimpinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.







[1] Kartono, Pemimpin Dan Kepemimpinan , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) hal. 4
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqolani, Bulughul Marom Kitabul Qodo, (Berut: Darur Fikr 2001),hlm.245.
[3] Taqiyuddin Abil Fath, Ikhkamul Akhkam, Kitabul Aiman wan-Nadar, (Berut: Darul Alamiyyah,2008), hlm. 139.
[4] Qadri Azizi, Elektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Nasional dan Hukum Umum. Cet. I, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 37.
[5] Yusuf Al Qardhawi,  Meluruskan Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm 126.
[6] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, Jilid. III (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, t.th.), hlm. 1457.
[7] Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Bahjatun Nazirin Syarh Riyadis Salihin, Jilid. II, terj. Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), hlm. 472.