f Desember 2016 ~ Urwatun Wursqa
  • Pondok Pesantren Mafaza Yogyakarta

    Sebuah Pondok pesantren yang ada di Yogyakarta, tempatku membangun karakter dan mental dengan ilmu agama yang diajarkan...

  • Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    Sebuah kampus yang akan membangun kader pemimpin bangsa dan penegak hukum yang amanah dan dapat dipercaya http://uin-suka.ac.id/...

  • Kampus MAN Lab. UIN Yogyakarta

    Lembaga setingkat SMA, yang dalam lembaga itu aku memulai belajar berorganisasi, belajar bertanggung jawab, serta belajar menjadi pemimpin...

  • Kementrian Agama Republik Indonesia

    Salah satu kementrian yang ada dalam susunan penerintahan, yang suatu saat nanti aku akan menjadi pemimpin di Kementrian Agama Tersebut...

Kamis, 01 Desember 2016

KEDUDUKAN WANITA DALAM SYARI’AT ISLAM


Diambil dari Al-Jamiah (Jurnal Ilmu Pengetahuan)

A.    KERANGKA JURNAL
1.      Pengertian Wanita
2.      Perbedaan Wanita dengan Laki-Laki
3.      Kedudukan Wanita Sebelum Kedatangan Islam
4.      Kedudukan Wanita Setelah Kedatangan Islam

B.     ISI JURNAL
1.      Pengertian Wanita
Wanita adalah makhluk penuh misteri yang kehadirannya sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Menurut Aristoteles, wanita adalah laki-laki yang tidak sempurna dan jiwanya dikuasai oleh kaum laki-laki, yang dalam realita sejarah mempunyai cerita yang tidak menyenangkan bahkan menyedihkan.

2.      Perbedaan Wanita dengan Laki-Laki
Perbedaan wanita dan laki-laki dapat diketahui dari segi fisik maupun psikologis. Secara fisik, alat kelamin laki-laki, berbeda dengan wanita, kulit wanita lebih halus daripada laki-laki, wanita melahirkan sedangkan laki-laki tidak, dan sebagainya. Sedangkan secara psikologis wanita lebih emosional, lebih pasif, dan lebih submisif,  sementara laki-laki lebih rasionan, lebih aktif, dan lebih agresif.
Pada usia awal kelahiran, perbedaan sifat antara laki-laki dan perempuan tidak terlihat, namun seiring bertambahnya umur perbedaan mulai terlihat. Diantarannya perasaan berkuasa yang dimiliki laki-laki dan wanita merasa iri, perlakuan berbeda yang dilakukan orang tua terhadap laki-laki dan perempuan, termasuk pemberian kekuasaan yang lebih kepada laki-laki.
Dalam segi budaya, masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan mulai dari pemberian nama, pakaian hingga permainan. Secara sosial, peran wanita hanya sebatas di lingkungan rumah tangga, mengatur rumah tangga, melahirkan, dan merawat anak. Sementara laki-laki, berada di lingkungan luar untuk mencari nafkah dan menjaga untuk keluarganya .

3.      Kedudukan Wanita Sebelum Kedatangan Islam
Sebelum Islam datang, kedudukan wanita sangatlah rendah  dibandingkan dengang laki-laki. Pada masa jahiliyah, apabila mempunyai anak perempuan, maka anak tersebut akan dikubur hidup-hidup, atau dibiarkan hidup dengan kehinaan sebagai pemuas birahi kaum laki-laki. Selain itu, penghinaan terhadap wanita beruapa tradisi nikah maqt, yaitu seorang anak laki-laki mengawini bekas istri ayahnya.
Pandangan yang menyebutkan bahwa wanita lebih rendah dari laki-laki juga terjadi di berbagai bangsa, seperti; bangsa Persia, Yunani, Rum, Tionghoa, bahkan Prancis dan Inggris. Bangsa Persia menganggap wanita sama dengan binatang, sehingga banyak wanita yang dijadikan gundik, diperkosa, dan diperlakukan layaknya perhiasan.  Nasib serupa juga dialami kaum wanita bangsa Rum yang diperlakukan layaknya binatang, dan dianggap sebagai benda bernyawa yang hidupnya tidak kekal di akhirat. Sementara di Yunani, wanita dianggap sebagai makhluk yang tidak sempurna, sehingga laki-laki sewajarnya sebagai penguasa kaum wanita.
Bangsa Tionghoa, membatasi perbuatan wanita hanya untuk urusan rumah tangga. Lebih ironis terjadi di Prancis dan Inggris pada tahun 586 M, Prancis membuat keputusan bahwa wanita termasuk golongan manusia yang dijadikan untuk melayani kaum laki-laki. sementara di Inggris wanita dianggap terus menjadi manusia yang rendah kecedasannya.
Agama hindu juga memadang wanita lebih rendah dari kaum laki-laki, seperti yang disebutkan dalam kitab Manu, bahwa laki-laki boleh menikahi beberapa perempuan, walaupun perempuan tersebut masih menjadi istrinya. Sedangkan wanita tidak boleh bersuami laki-laki yang lain, walaupun laki-laki tersebut telah meninggal.
Berdasarkan fakta sejarah yang ada, anggapan bahwa wanita lebih rendah daripada laki-laki sudah menjadi tradisi di berbagai bangsa dan juga agama selain Islam.

4.      Kedudukan Wanita Setelah Kedatangan Islam
Risalah Islam merupakan koreksi terhadap tradisi maupun ajaran agama yang sebelumnya menyimpang,  seperti halnya kedudukan wanita. Kehadiran islam membuat kedudukan wanita sejajar dengan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, dan yang membedakan hanyalah tinggi rendahnya ketaqwaan kepada Allah SWT, sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 :
 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ (لحجرات:13)
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptrakan kamu (terdiri) laki-laki dan perempuan dan Kami jadikamn kamu berbangsa-bangsadan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa (Q.S. Al-Hujurat(49): 13)
Bentuk perwujudan dari persamaan antara laki-laki dan wanita adalah kaum wanita diberi hak berdasarkan rasa keadilan dan kemausiaan. Adapun hak-hak tersebut sebagai beerikut:
a.       Hak wanita dalam pekerjaan
Syari’at Islam memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan selama wanita tersebut mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya. Sebagai contoh isteri Rasululullah SAW, Khadijah binti Khuwalid yang bekerja sebagai pedagang yang sekses. Sejarah Islam juga mencatat banyak sekali wanita yang bekerja sebagai wiraswasta, seperti Ummu Salim binti Malhan bekerja sebagai perias pengantin, Zainab binti Jahsy (istri Rasulullah SAW) bekerja sebagai penyamak kulit binatang,
b.      Hak wanita dalam sosial dan politik
Kiprah para wanita dalam bidang sosial sangatlah nampak sejak masa Rasululla. Hal ini terlihat ketika Rasulullah menyeru agar para wanita bersedekah, maka saat itu pula banyak wanita yang bersedekah dengan subang dan cincinnya.
Begitu pula dalam bidang politik, wanita diberi kesempatan yang luas dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar yang termasuk dalam bidang politik. Sejarah mencatat, bahwa  isteri Nabi, Aisyah r.a., berperan sebagai komandan dalam Perang Jamal, peristiwa tersebut sebagai perwujudan hak politik yang dimiliki wanita.
c.       Hak wanita dalam pendidikan
“Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap muslim laki-laki maupun perempuan” (H.R. Imam Ibn ‘Ady dan Al-Baihaqy dari Anas r.a.). Hadits tersebut menunjukan bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan bukan hanya untuk laki-laki, namun wanitapun juga berhak. Sebagai contoh Aisyah r.a., Beliau adalah seorang intelektual yang banyak menriwayatkan hadits Nabi SAW.
d.      Hak wanita dalam pemilikan
 ...  لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْن ...(النساء:32)
Bagi laki-laki ada bagian sesuai dengan usaha mereka, dan bagi perempuan juga ada bagian sesuai dengan usaha mereka. (Q.S. An-Nisa (4): 32)
Ayat tersebut menegaskan bahwa hak laki-laki dan perempuan sama, tergantung apa yang mereka usahakan.

C.    KESIMPULAN DAN KOMENTAR  JURNAL
Dari semua pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya misi utama datangnya Islam sebagai rahmatan li al’alamin sangatlah berperan penting dalam mengubah pola pikir dan keadaan masyarakat yang masih cenderung terbelakang pada masa itu. Salah satu pola pikir yang diubah ialah tentang kedudukan wanita yang sebelumnya tidak memiliki nilai sama sekali menjadi wanita yang mempunyai kedudukan sejajar dengan laki-laki.
Wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam agama Islam, yang membedakan hanya tingkat iman dan taqwa kepada Allah SWT. Konsep ini memberikan hak kepada wanita sebagai manusia yang meliputi berbagai bidang kehidupan, mulai bidang pekerjaan hingga bidang kepemilikan. Walaupun demikian, wanita tetap tidak identik dengan laki-laki. Dalam pelaksanaan tugas sebagai khalifah fi al-ardl, antara laki-laki dan wanita dapat bekerja secara fungsional, yang berorientasi pada masalah sama nilainya. Wanita sebagai ibu rumah tangga yang mengatur rumah tangga, mendidik anak, memasak makanan, dan sebagainya, tidak rebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Dengan demikian, wanita seharusnya tidak perlu menuntut hak untuk sama dengan laki-laki  dalam segala hal, karena sejatinya kedudukannya sama dengan laki-laki. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan harus bekerja sesuai dengan kemampuan dan tidak keluar dari garis kodratnya masing-masing, karena nilai atau ekstensi dari suatu pekerjaan tidak ditentukan dari jenis kelaminnya, tetapi, hal tersebut didasarkan pada nilai keikhlasan, kemaslahahan serta pencapaian terhadap ridha Allah SWT. Wallahu a’lam.



DOKUMENTASI