f April 2016 ~ Urwatun Wursqa
  • Pondok Pesantren Mafaza Yogyakarta

    Sebuah Pondok pesantren yang ada di Yogyakarta, tempatku membangun karakter dan mental dengan ilmu agama yang diajarkan...

  • Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    Sebuah kampus yang akan membangun kader pemimpin bangsa dan penegak hukum yang amanah dan dapat dipercaya http://uin-suka.ac.id/...

  • Kampus MAN Lab. UIN Yogyakarta

    Lembaga setingkat SMA, yang dalam lembaga itu aku memulai belajar berorganisasi, belajar bertanggung jawab, serta belajar menjadi pemimpin...

  • Kementrian Agama Republik Indonesia

    Salah satu kementrian yang ada dalam susunan penerintahan, yang suatu saat nanti aku akan menjadi pemimpin di Kementrian Agama Tersebut...

Jumat, 29 April 2016

KEIKHLASAN CINTA: Julaibib dan Pengantin Perempuan

Hasil gambar untuk JULAIBIB
Wanita shalihah adalah seorang wanita yang tahan memegang bara ...
Jika datang perintah dari syariat kepada salah seorang mereka, dia taat, terima, dan tunduk. Dia tidak menyanggah, tidak membangkang, ataupun mencari alasan untuk tidak menerimanya. 
Perhatikanlah cerita gadis suci nan mulia ini! Cerita tentang seorang pengantin wanita...
Adalah seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bernama Julaibib. Wajahnya tidak begitu menarik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menawarinya menikah. Dia berkata (tidak percaya), "Kalau begitu, Anda menganggapku tidak laku?"

Beliau bersabda, "Tetapi kamu di sisi Allah bukan tidak laku." [
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa terus mencari kesempatan untuk menikahkan Julaibib...

Hingga suatu hari, seorang laki-laki dari Anshar datang menawarkan putrinya yang janda kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menikahinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Ya. Wahai fulan! Nikahkan aku dengan putrimu."
"Ya, dan sungguh itu suatu kenikmatan, wahai Rasulullah," 
katanya riang.


Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Sesungguhnya aku tidak menginginkannya untuk diriku..."
"Lalu, untuk siapa?" tanyanya.
Beliau menjawab, "Untuk Julaibib..."
Ia terperanjat, "Julaibib, wahai Rasulullah?!! Biarkan aku meminta pendapat ibunya...."

Laki-laki itu pun pulang kepada istrinya seraya berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melamar putrimu."
Dia menjawab, "Ya, dan itu suatu kenikmatan..."
"Menjadi istri Rasulullah!" tambahnya girang.
Dia berkata lagi, "Sesungguhnya beliau tidak menginginkannya untuk diri beliau."
"Lalu, untuk siapa?" tanyanya.
"Beliau menginginkannya untuk Julaibib," jawabnya.

Dia berkata, "Aku siap memberikan leherku untuk Julaibib... ! Tidak. Demi Allah! Aku tidak akan menikahkan putriku dengan Julaibib. Padahal, kita telah menolak lamaran si fulan dan si fulan..." katanya lagi.

Sang bapak pun sedih karena hal itu, dan ketika hendak beranjak menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba wanita itu berteriak memanggil ayahnya dari kamarnya, "Siapa yang melamarku kepada kalian?"
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam," jawab keduanya.
Dia berkata, "Apakah kalian akan menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?"
"Bawa aku menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh, beliau tidak akan menyia-nyiakanku," lanjutnya.
Sang bapak pun pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata, "Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terserah Anda. Nikahkanlah dia dengan Julaibib."

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikahkannya dengan Julaibib, serta mendoakannya,
ا
اَللَّهُمَّ صُبَّ عَلَيْهِمَا الْخَيْرَ صَبًّا وَلَا تَجْعَلْ عَيْشَهُمَا كَدًّا كَدًّا

"Ya Allah! Limpahkan kepada keduanya kebaikan, dan jangan jadikan kehidupan mereka susah."

Tidak selang beberapa hari pernikahannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dalam peperangan, dan Julaibib ikut serta bersama beliau. Setelah peperangan usai, dan manusia mulai saling mencari satu sama lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada mereka, "Apakah kalian kehilangan seseorang?" Mereka menjawab, "Kami kehilangan fulan dan fulan..." 

Kemudian beliau bertanya lagi, "Apakah kalian kehilangan seseorang?" Mereka menjawab, "Kami kehilangan si fulan dan si fulan..." 

Kemudian beliau bertanya lagi, "Apakah kalian kehilangan seseorang?" Mereka menjawab, "Kami kehilangan fulan dan fulan..."
Beliau bersabda, "Akan tetapi aku kehilangan Julaibib."

Mereka pun mencari dan memeriksanya di antara orang-orang yang terbunuh. Tetapi mereka tidak menemukannya di arena pertempuran. Terakhir, mereka menemukannya di sebuah tempat yang tidak jauh, di sisi tujuh orang dari orang-orang musyrik. Dia telah membunuh mereka, kemudian mereka membunuhnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri memandangi mayatnya, lalu berkata,"Dia membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia membunuh tujuh orang lalu mereka membunuhnya. Dia dari golonganku dan aku dari golongannya."
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membopongnya di atas kedua lengannya dan memerintahkan mereka agar menggali tanah untuk menguburnya.

Anas bertutur, "Kami pun menggali kubur, sementara Julaibib radhiallahu ‘anhu tidak memiliki alas kecuali kedua lengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga ia digalikan dan diletakkan di liang lahatnya."
Anas radhiallahu ‘anhu berkata, "Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah orang Anshar yang lebih banyak berinfak daripada istrinya. Kemudian, para tokoh pun berlomba melamarnya setelah Julaibib..."
Benarlah, "Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepadaNya, mereka itu adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An-Nur: 52).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda, sebagaimana dalam ash-Shahih,"Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang engan itu?" Beliau bersabda, "Barangsiapa taat kepadaku, maka ia masuk surga, dan barangsiapa mendurhakaiku berarti ia telah enggan." 
Diposting oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim, di nukil dari, "90 Kisah Malam Pertama" karya Abdul Muththalib Hamd Utsman, edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta 

PILIH BERJIHAD DAN MERINDUKAN SYAHID: JULAIBIB RADHIYALLAHU ANHU

Hasil gambar untuk JULAIBIB
“Sami’na wa`atha’na”, itulah sikap seorang mukmin ketika sampai kepadanya perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sikap ini sebagai bukti keimanannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sebagai bukti kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Memang demikianlah, menjadi keharusan bagi seseorang yang telah bersaksi Muhammad adalah utusan Allah untuk menerima segala yang telah menjadi keputusan Rasulullah. Tidak ada lagi pilihan bagi dirinya, kecuali harus tunduk dan patuh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kecuali dalam perintah tersebut mengandung banyak hikmah. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang, kecuali dalam larangan itu terdapat bahaya besar.
Sikap taat, tunduk dan patuh itu selalu menghiasi para sahabat Rasulullah yang merupakan satu generasi terdidik di bawah naungan cahaya Nubuwwah. Generasi yang dipuji oleh Allah dan yang terpilih untuk menemani, serta mendukung dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb/33 : 36].
Ada suatu kisah sangat menarik berkaitan dengan ayat yang mulia ini. Yaitu kisah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Julaibib Radhiyallahu anhu. Sahabat ini bukan termasuk orang terpandang di kalangan kaum Anshar. Perawakannya juga kurang bagus. Sahabat ini termasuk dalam kategori orang miskin, tidak memiliki harta. Meskipun demikian, beliau sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ketakwaan yang ada pada dirinya.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menikahkannya dengan salah seorang putri sahabat Anshar. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah sahabat Anshar ini dan berkata: “Nikahkanlah putrimu denganku”.
Mendengar ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sahabat tadi tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran Rasulullah. Satu kesempatan yang sangat berharga, dan suatu kebanggaan tak ternilai ketika terjalin hubungan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa pinangan ini bukan untuk dirinya.
“Kalau begitu pinangan ini untuk siapa, wahai Rasulullah?” katanya dengan penuh tanda tanya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu”.
Dengan penuh kebingungan sahabat itu menjawab: “Baiklah, wahai Rasulullah! Tetapi aku harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan istriku”.
Pergilah sahabat ini menemui istrinya. Terlintas di benaknya, apa kata orang jika putriku menikah dengan Julaibib Radhiyallahu anhu ?! Bagaimana martabat keluarganya?!
Setelah bertemu dengan istrinya, iapun menceritakan pinangan Rasulullah. Dia berkata: “Wahai, istriku. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang putrimu,” serta merta istrinya menjawab: “Iya, aku sangat setuju”.
“Akan tetapi Rasulullah tidak meminang untuk dirinya, ” jelas sang suami.
“Lantas untuk siapa pinangan itu,” tanya istrinya penuh keheranan.
“Rasulullah meminangnya untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ,” tandasnya.
Istrinya menjawab: “Untuk Julaibib Radhiyallahu anhu ? Tidak! Aku tidak setuju. Jangan engkau nikahkan dengannya!”
Mereka enggan memiliki seorang menantu seperti Julaibib Radhiyallahu anhu yang tidak memiliki apa-apa. Demikianlah, keadaan sebagian orang tua yang terkadang lebih mengutamakan dunia seseorang dari pada agamanya.
Percakapan itu ternyata terdengan oleh putrinya. Lantas bagaimana dengan sikap putrinya mendengar pinangan dari Rasulullah?
Tak disangka, ketika bapaknya hendak beranjak pergi untuk menolak pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terdengarlah suara dari dalam kamar: “Siapakah yang telah meminangku, wahai ayah?”
Sang ibu kemudian menceritakan bahwa yang meminang adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi pinangan itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk Jualaibib,
Ternyata putrinya menjawab dengan tegas: “Apakah kalian menolak perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Tidakah kalian mendengar firman Allah
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. – al-Ahzâb/33 ayat 36- Terimalah pinangan itu, karena ia tidak akan menyia-nyiakanku. Ketahuilah, aku tidak akan menikah kecuali dengan Julaibib Radhiyallahu anhu !”
Mendengar penuturan putrinya, maka pergilah sahabat itu menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sesampai di hadapan Rasulullah, iapun berkata: “Wahai, Rasulullah! Aku menerima pinanganmu. Nikahkanlah putriku dengan Julaibib Radhiyallahu anhu “.
Sungguh satu pernyataan yang menunjukkan ketundukan terhadap perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wanita shalihah ini tidak melihat diri calon pendamping hidupnya, kecuali dengan pandangan agama. Dia sangat memahami, bahwa kemuliaan dan kebahagiaan hidup seseorang hanyalah dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Itulah sikap seorang yang beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Perintah Rasulullah selalu didahulukan dari keinginan pribadinya. Dia yakin, keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu yang terbaik. Ya, ilmu selalu membimbingnya kepada kebaikan, ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tak terperi, kebahagiaan pun meliputi Julaibib Radhiyallahu anhu . Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kehidupan baru akan segera ia jalani.
Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad megetuk hatinya. Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di jalan Allah. Julaibib Radhiyallahu anhu dalam kebimbangan. Ia bingung manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati shahid yang selama ini dicita-citakannya?! Akhirnya, ternyata kerinduan terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya.
Maka berangkatlah Julaibib Radhiyallahu anhu menuju medan perang. Dia tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya.
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan. Biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?”
Mereka menjawab: ” Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”.
Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yakni Julaibib Radhiyallahu anhu . Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menanyakan kepada para sahabat, dan jawaban mereka sama.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru: “Sesunguhnya aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Jualaibib. Carilah ia!”
Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiyallahu anhu . Dan mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh jasad orang kafir. Segeralah para sahabat memberitahukan kepada Rasulullah tentang Julaibib Radhiyallahu anhu , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menghampiri jasadnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di sampingnya dan bersabda: ” Dia telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya. Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. Rasulullan n mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jasadnya dan menyandarkan di lengannya.
Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus menyandarkan jasad Julaibib Radhiyallahu anhu di lengannya, sampai akhirnya ia di kuburkan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.
Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu . Beliau menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah.
Lalu, bagaimanakah dengan wanita shalihah yang siap mendampinginya?
Sepeninggal Sahabat Julaibib Radhiyallahu anhu z , wanita itu menjadi seorang yang kaya raya di kalangan kaum Anshar. Semua itu berkat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yaitu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya, Allah! Curahkanlah kebaikan untuknya. Dan jangan Engkau menjadikan untuknya kehidupan yang susah”.
Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ia mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya. Demikianlah hikmah lantaran taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita. Wallahu a’lam.
Marâji’:
1. Shahih Muslim.
2. Usud al-Ghabah fi Ma’rifati ash-Shahabah.
3. Tafsir Ibnu Katsir.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Minggu, 24 April 2016

Perang Jamal: Ali Bin Abi Thalib ra dengan Aisyah Binti Abu Bakar ra

PERANG JAMAL & SEBAB-SEBAB PERSELISIHAN



Dalam Minhaj As-Sunnah, tentang kemunculan perselisihan tersebut, Ibnu Taimiyah menulis,

Tersebar rumor di tengah rakyat Syam akan Ali z yang menerima pembunuhan Utsman itu. Rumor seperti ini tersebar  di sana karena empat sebab. (1) Tidak adanya qishashterhadap para pembunuh Utsman, (2) meletusnya Perang Jamal, (3) kepergian Ali dari Madinah sekaligus kepindahan Ali ke Kufah tempat komplotan pembunuh Utsman berada, (4) orang-orang yang membunuh Utsman bergabung ke dalam pasukan Ali z.

Empat alasan itulah yang membuat rakyat Syam mencurigai Ali memiliki saham dalam pembunuhan Utsman. Padahal, tidak sama sekali. Sebaliknya, Ali justru melaknat para pembunuh Utsman itu.”

Sebenarnya, ada lebih dari satu orang yang masuk dan melakukan kekerasan fisik terhadap Utsman sampai terbunuh. Ibnu Asakir dan Ibnu Katsir menyebutkan nama-nama mereka di dalam karya masing-masing berdasarkan riwayat-riwayat yang sahih.

Orang pertama adalah laki-laki yang dijuluki Al-Mawt Al-Aswad, kematian yang hitam. Ia adalah orang yang mencekik Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah tak-bernyawa, Al-Mawt Al-Aswad keluar.

Orang kedua adalah Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman siuman, Kinanah memukul rusuk dan kepala Utsman dengan tiang besi sampai jatuh tersungkur.

Orang ketiga adalah Sudan bin Humran Al-Muradi. Ialah  yang membuat jari-jari istri Utsman, Nailah, terputus ketika hendak melindungi suaminya. Ketika tidak terhalang lagi, Sudan segera menikam Utsman sampai terbunuh. Belum sempat beranjak pergi, Sudan dibunuh oleh salah seorang pelayan Utsman.

Orang keempat adalah ‘Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah ditikam, ‘Amr segera menduduki dada Utsman. Dengan penuh kebencian, ‘Amr menikam Utsman yang sudah tidak bernyawa lagi itu. “Tiga tikaman,” kata ‘Amr, “kuberikan karena Allah. Enam tikaman lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan dadaku.”

Khalifah Khayyath, dalam kitab Tarikh miliknya, menambahkan orang kelima, Jabalah. Ia berasal dari rombongan yang datang dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh banyak orang sebagai pembunuh Utsman sebenarnya.

Antara keluarnya Al-Mawt Al-Aswad dan masuknya Kinanah  bin Bisyr, sempat masuk Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu Bakar Ash-Shiddiq dari istrinya yang bernama Asma’ binti Umais. Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat keadaan Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan dilakukannya.

Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar. Ia yang bergabung dengan rombongan orang-orang dari Mesir sempat berusaha menahan dan menyadarkan teman-temannya.Meski demikian, amarah massa sudah tidak terbendung lagi. Usaha Muhammad berlalu sia-sia.

Adapun Perang Jamal, ini adalah contoh paling baik tentang kesalahpahaman yang berdarah-darah. Ketika massa di tingkat bawah tidak terkendali lagi, para pemimpin—meski dikenal memiliki keilmuan menjulang tak tertandingi sekalipun—tidak akan sanggup menenangkan mereka kecuali jika Allah mengizinkan.

Bermula dari bertemunya sejumlah sahabat Rasulullah di Makkah awal tahun 36 H. Thalhah dan Zubair waktu itu bertemu dengan rombongan Aisyah yang baru selesai menunaikan ibadah haji. Hadir juga di sana Ya’la bin Muniyah dan Abdullah bin ‘Amir.

Mereka sepakat untuk pergi ke Bashrah untuk mencari para pembunuh Utsman. Mereka mengira dengan kuat, dari Madinah para pembunuh pergi ke Kufah atau Bashrah dan berdiam di sana.

Tiba di Bashrah, mereka didatangi Utsman bin Hunaif, gubernur setempat yang diangkat oleh Ali. Utsman bin Hunaif menahan mereka sampai Ali tiba di sana.

Belum lagi Ali datang, tiba-tiba Jabalah datang menyerbu dengan membawa pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang bersenjata. Mereka yang datang ini dapat dikalahkan. Waktu itu, selain membawa para pendukung dari Makkah, Thalhah, Zubair dan Aisyah juga dibantu oleh penduduk-penduduk Bashrah.

Kabar yang sampai kepada Ali, Utsman bin Hunaif telah berperang melawan rombongan sahabat-sahabat Rasulullah itu. Ali segera menyiapkan 10.000 orang untuk datang ke Bashrah menemui mereka. Pasukan sejumlah itu dikenal dalam sejarah sebagai pasukan Kufah.

Masing-masing pihak kemudian mengirimkan utusan untuk bertemu dan berusaha mendudukkan persoalan. Pihak Ali diwakili oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad dan Al-Qa’qa bin ‘Amr yang berunding dengan Thalhah dan Zubair.

Mereka pun sepakat untuk mengadakan qishash terhadap para pembunuh Utsman. Selain itu, masing-masing pihak sepakat pula untuk menahan diri tidak saling menyerang. Satu-satunya yang tersisa dari pembicaraan adalah masalah waktu pelaksanaan.

Akan tetapi, kesepakatan itu rusak ketika tiba-tiba sebuah pasukan yang diorganisasi oleh oknum-oknum pembunuh Utsman menyerang tempat bermalam rombongan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Serangan ini dilakukan sebelum masuk waktu fajar. Para penyerang melakukan penyerangan atas inisiatif sendiri, tanpa sepengetahuan Ali. Mereka segera melarikan diri setelah berhasil menewaskan sejumlah orang.

Thalhah mengira, serangan itu atas perintah Ali. Karena itu, menganggap pihak Ali telah merusak kesepakatan mereka, Thalhah dan Zubair menyiapkan serangan balik. Paginya,mereka menyerang Ali dan pasukannya.

Ali dan pasukannya tidak mengira akan serangan itu. Balik menganggap pasukan Thalhah dan Zubair telah merusak kesepakatan, pasukan Ali kemudian meladeni mereka.

Saling serang pun terjadi. Lewat tengah hari, apa yang terjadi  di antara mereka itu berubah menjadi sebuah perang besar. Sayangnya, baik Ali maupun Thalhah dan Zubair, masing-masing tidak dapat menahan lagi pasukan mereka. Dari kedua belah pihak, korban-korban telah berjatuhan.

Di tengah kecamuk perang, Aisyah sempat mengutus Ka’ab bin Sur untuk menghentikan perang. Berbekal sebuah mushaf yang diangkatnya, Ka’ab mencoba menarik perhatian kedua belah pihak meminta—dengan nama Allah—untuk berhenti menumpahkan darah. Usaha itu gagal. Ka’ab tewas dihujani anak-anak panah.

Thalhah termasuk orang-orang yang pertama terbunuh pada perang itu. Sebatang anak panah tak-bertuan melayang mengenainya dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali sangat berduka ketika melihat jenazah Thalhah setelah perang usai.

Berbeda dengan Thalhah, Zubair berpaling dari perang. Ada banyak riwayat yang menerangkan alasan di balik berpalingnya Zubair. Riwayat yang paling masyhur adalahyang bercerita bahwa Zubair pergi dari perang itu setelah mengingat kembali sebuah sabda Rasulullah yang didengarnya dan didengar Ali pula, “Sungguh, engkau akan memerangi Ali, sedangkan engkau sebagai pihak yang zalim.”

Salah satu perawi hadits ini diperbincangkan oleh para pakar hadits dari dulu sampai sekarang.

Belum jauh berpaling dari medan perang, Zubair dibunuh oleh salah satu anggota pasukan Ali. Pembunuh itu bernama ‘Amr bin Jurmuz. Ketika dikabari perihal kematian Zubair itu, Ali segera berkata kepada ‘Amr, “Kabari orang yang membunuh putra Shafiyyah itu dengan Neraka.” Shafiyyah yang dimaksud adalah ibu Zubair.

Adapun Aisyah, unta yang ditungganginya tumbang setelah ditebas oleh seseorang. Sekedup Aisyah terjatuh dan orang-orang yang ada di sekitarnya menjauh sekaligus menghentikan perang. Telah banyak orang yang terbunuh di sekitar unta itu karena membela keselamatan Aisyah.

Dengan unta yang tumbang itu, Perang Jamal usai. Kedua pasukan menghentikan serangan. Ali secara langsung memerintahkan orang-orangnya untuk mengamankan sekedup yang berisi Aisyah itu. Hari sudah menjelang sore.

Muhammad bin Abi Bakar yang bergabung dengan pasukan Ali diperintah untuk mendampingi Aisyah. Malam itu mereka masuk ke Bashrah dan bermalam di sana.

Ali bermalam di Bashrah selama tiga hari. Ia radhiyallahu ‘anhu memimpin shalat jenazah bagi mereka yang terbunuh dalam perang sehari itu. Harta-harta yang telah dirampas pasukan dikembalikan. Sebaliknya, orang-orang yang lari dari perang dibiarkannya  dan tidak dikejar.

Selama di Bashrah, Aisyah diperlakukan dengan baik oleh Ali dan pasukannya. Bahkan, ia akan menghukum siapa saja  dari pasukannya yang kedapatan mencela Aisyah.

Ali kemudian memulangkan Aisyah dan rombongannya ke Makkah untuk kemudian kembali ke Madinah. Rombongan itu dilepas oleh Ali sendiri, seperti ketika melepas seorang ibu pergi. Bahkan, Ali langsung mengiringi mereka sampai beberapa mil dan mengucapkan selamat jalan, radhiyallahu ‘anhum.

Sebelum berangkat pulang, Aisyah mendoakan Ali dan pasukannya. Kepada orang-orang yang hadir di sana, Aisyah berwasiat, “Wahai anak-anakku, jangan kalian saling mencaci-maki. Demi Allah, sungguh, apa yang terjadi antara aku dan Ali adalah masalah yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan saudara-saudara iparnya. Walaupun aku pernah mencelanya, sungguh, Ali adalah hamba yang terpilih.”

Mendengar wasiat Aisyah itu, Ali menyambung, “Beliau benar.  Demi Allah, tidak ada masalah antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan itu. Sungguh, beliau adalah istri nabi kalian radhiyallahu ‘anha di dunia dan di akhirat”.


Sumber: http://inisejarahislam.blogspot.co.id/2013/07/perang-jamal-sebab-sebab-perselisihan.html

PERANG SIFFIN: ALI BIN ABI THOLIB DENGAN MUAWIYAH BIN ABI SOFYAN


Nama Siffin adalah nama sebuah daerah di tenggara Kota Raqqah, Suriah.


Suatu hari, putri Rasulullah SAW, Fatimah ra, mengadu kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib ra. Fatimah mengadu tangannya luka-luka akibat terlalu sering membikin adonan roti dari gandum. Ali berkata, "Ayahmu telah datang dengan membawa beberapa tawanan, pergilah temui ayahmu dan mintalah seorang dari mereka untuk menjadi pembantumu."

Fatimah pun menemui ayahnya. Namun, ia tak berani menyampaikan maksudnya. Lalu, Ali datang menemui Rasul dan menyampaikan maksudnya. Tetapi, Rasulullah SAW tak  mengabulkan permintaan orang yang paling dicintainya itu meski beliau tahu bahwa keluarga putrinya itu memang serbakekurangan.

Nabi SAW kemudian menemui putri dan suaminya. Rasulullah  bersabda, "Maukah aku ajarkan kepada kamu berdua sesuatu yang baik dari apa yang kalian minta? Jika hendak tidur, bacalah Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar sebanyak 33 kali. Sesungguhnya hal itu lebih baik dari seorang pelayan."

Ali bin Abi Thalib ra selalu melaksanakan nasihat Rasulullah SAW itu. Ia pernah mengatakan, "Demi Allah, aku tidak pernah meninggalkannya sejak beliau mengajarkannya kepadaku." Salah seorang sahabat yang bertanya, "Hatta pada malam peristiwa Siffin?" Ali menjawab, "Ya, benar, Hatta pada malam peristiwa Siffin." (HR Bukhari Muslim).

Kisah dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim itu menyebut nama "peristiwa Siffin". Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith al-Nabawi mengungkapkan, Siffin adalah nama sebuah daerah  di tenggara Kota Raqqah, Suriah-sekitar 15 kilometer di tepian Sungai Eufrat.

"Dari arah barat dan timur, Siffin berada di antara Raqqah dan Palas. Saat ini, Siffin berada di tenggara desa Ekrsye (hanya berjarak 500 meter)," papar Syauqi. Di wilayah itu, pernah terjadi sebuah peristiwa bersejarah dalam peradaban Islam. Peristiwa itu dikenal sebagai "Perang Siffin".

Perang Siffin terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra dengan Muawiyah bin Abi Sufyan-pendiri Dinasti Umayyah. Perang saudara itu terjadi pada 1 Shafar tahun 37 H/  26-28 Juli 657 M. Perang saudara pertama dalam sejarah peradaban Islam itu terjadi pada zaman fitnah besar.

Menurut sebuah versi, perang saudara itu terjadi akibat ulah dan provokasi dari pengikut Abdullah bin Saba. Adalah dendam lama pengikut Abdullah bin Saba' terhadap Muawiyah yang memantik pertempuran itu. Abdullah bin Saba menurut sebuah versi adalah seorang Rabbi Yahudi yang masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan kemudian melakukan makar.

Kelompok Abdullah bin Saba berupaya menebar fitnah untuk menjatuhkan citra pejabat negara. Upaya itu dilakukan agar rakyat membenci pejabat yang ditunjuk Khalifah Utsman. Amru bin Ash, gubernur Mesir, menjadi sasaran pertama. Fitnah yang ditebarkan Abdullah bin Saba dan pengikutnya berhasil menjatuhkan sang gubernur.

Setelah berhasil mendongkel gubernur Mesir, kelompok itu lalu mengajak pendukungnya di Syam, Kufah, dan Bashrah untuk menggulingkan gubernur mereka.  Gubernur Kufah, Said bin Ash, berhasil digulingkan. Namun, mereka gagal mendongkel Muawiyah dari kursi Gubernur Syam-yang telah berkuasa sejak era Khalifah Umar.

Kelompok pengikut Abdullah bin Saba atau Sabaiyah membunuh Khalifah Utsman.  Ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat penduduk Madinah, tidak lama setelah Ustman terbunuh oleh kelompok Saba'iyah, Muawiyah tetap menjabat sebagai Gubernur Syam.

Posisi Muawiyah sebagai gubernur memang terbilang cukup kuat alias tak bisa didongkel oleh gerakan kelompok Sabaiyah. Dalam Tarikh At-Thabari ditulis, Khalifah Utsman telah mengingatkan Muawiyah akan adanya upaya makar itu. Utsman berkata, "Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka berbuat baik-baik, terimalah. Akan tetapi, jika mereka melemahkanmu, kembalikan ke Kufah."

Kelompok itu sempat datang menemui Muawiyah, kelompok Sabaiyah meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Namun, ia menolaknya. Kelompok itu lalu dikeluarkan dari Syam. Setelah wafatnya Utsman, kelompok ini yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib.

Dr Hamid Muhammad Khalifah dalam Al-Inshaf (hal 418) menyebutkan, penyebab meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para "provokator" dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang ingin memerangi Muawiyah.

Sebenarnya, tak ada perselisihan antara Ali dan Muawiyah. Yang ada perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba' dan Muawiyah. Terlebih, Muawiyah mendesak dilakukannya hukuman hadd kepada kelompok itu atas terbunuhnya Utsman.

Perselisihan terjadi setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dari jabatan Gubernur Syam. Posisinya diganti oleh Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan berangkat ke Syam. Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali.

Ali lalu mengirim surat kepada Muawaiyah, namun surat itu tidak dibalas hingga tiga bulan setelah wafatnya Utsman. Lalu, Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi menghadap Khalifah Ali dan menyatakan alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat. Mereka meminta agar pelaku pembunuhan Utsman diadili.

Kaum Sabayah lalu mencoba memprovokasi dan bahkan memerintahkan agar utusan Muawiyah dibunuh. Dalam Tarikh At-Thabari disebutkan,  Bani Mudhar mencegah mereka yang hendak membunuh Qubishah.

Utusan Khalifah Ali pun keluar dari Syam karena penduduk provinsi itu menolak memberi baiat, kecuali pelaku pembunuhan Khalifah Utsman dihukum. Kelompok Sabaiyah pun semakin terancam karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.

Lalu, mereka mendesak Amirul Mukminin untuk memerangi Muawiyah. "Maka, para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Syam," demikian tertulis dalam Al Bidayah wa An Nihayah.

 Awalnya, Imam Ali tak pernah berniat untuk perang. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah menyebutkan, khalifah mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Irak untuk mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah.

Mendengar kabar itu, Muawiyah naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jamaah, "Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Irak untuk kalian. Apa pendapat kalian?" Para jamaah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan, "Anda yang berpikir, kami yang melaksanakan." Akhirnya, Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi tiga bagian.

Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali lalu mengabarkan apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jamaah, "Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?" Semua hadirin terheran dan berbicara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar dengan mengatakan, "la haula wa la quwwata ila billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)"

Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Siffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Dalam Al Bidayah wa An Nihayah, disebutkan Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan bertanya, "Apakah engkau melawan Ali?" Muawiyah menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama, dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku."

"Akan tetapi, bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terzalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya."

Ibnu Katsir menyebutkan, perang Siffin melibatkan 120 ribu orang pasukan Kufah dan yang terbunuh mencapai 40 ribu. Sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang. Dalam pertempuran itu, pasukan Muawiyah nyaris kalah.

Dalam posisi terdesak, penasihat Muawiyah Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Alquran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Alquran. Atas desakan kelompok Khawarij, Khalifah Ali akhirnya menghentikan serangan dan kedua belah pihak memilih berdamai. berbagai sumber

Muawiyyah bin Abu Sufyan: Khalifah Pertama Dinasti Umayyah

 Umayyad Mosque di Damaskus, Syria
Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.
Namanya dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam pemerintahan Islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah kemenangannya dari Ali. Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughira keturunan bani Quraisy. Tapi, pernikahannya tak langgeng, sehingga perempuan itu menikah kembali dengan Abu Sufyan.

Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia baru masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam berbarengan dengan Islamnya sang ayah, Abu Sufyan, yang semula menjadi mata-mata warga Makkah yang menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.

Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang penyatat wahyu. Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.

Terkisah, kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka, pada suatu ketika, Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, sang Khalifah pun menegurnya dengan cukup keras.

Namun, teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar waktu itu.

Muawiyyah tercatat sebagai salah seorang pahlawan perang muslim. Sebagai Gubernur Syam, misalnya, ia menjadi ujung tombak untuk menghadapi serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel. Serangan Romawi berhasil dipatahkan dan bahkan Muawiyyah dapat meluaskan wilayah hingga ke Laut Hitam, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil. Pada tahun 653, Muawiiyah membangun benteng-benteng di perbatasan Konstantinopel guna menahan serbuan tentara Romawi. Ia pula, dalam serangan-serangan itu, yang berhasil membangun armada pertama angkatan laut pasukan Islam yang amat tangguh.

Hubungannya dengan Khalifah Usman bin Affan memang sangat dekat. Maka tidak mengherankan bila ia tampil sebagai orang pertama yang menuntut bela atas kematian sang Khalifah. Muawiyyah termasuk pemimpin daerah yang paling keras menuntut kepada Sayyidina Ali untuk mengusut dan menghukum orang yang membunuh Khalifah Usman.
Pembunuhan Usman itu sendiri boleh dibilang sebagai semacam persekongkolan kelompok-kelompok yang tidak suka pada kebijakan sang Khalifah. Ada yang tidak suka karena kebijakannya mengangkat kerabat dan keluarganya untuk menduduki posisi tinggi. Ada juga yang tidak puas karena Usman memecat sejumlah pejabat yang dinilai sebagai administrator yang piawai. Pembunuhan itu sendiri berlangsung pada 655, setelah sebelas tahun Usman memegang tampuk kepemimpinan umat Islam.

Pembunuhan Usman itu menandai semakin terpecahnya umat Islam kala itu ke dalam dua kubu: kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Muawiyyah. Seperti diketahui, sebagian besar umat kala itu sepakat mengangkat Ali sebagai pengganti Usman. Tapi, kenyataan ini ditampik oleh Muawiyyah. Ia secara terang-terangan menyatakan penolakannya untuk mengakui Ali sebelum pembunuh Khalifah Usman dihukum.

Ali sendiri saat menerima tampuk kepemimpinan mewarisi kondisi umat yang cukup parah. Terutama sekali ancaman perpecahan yang kian meruncing di masa kepemimpinan Usman. Ia bermaksud menyatukan dulu umat sebelum mengusut dan menghukum pembunuh Usman. Itu sebabnya, ia meminta semua pemimpin di daerah untuk mengakui kepemimpinannya, termasuk Muawiyyah.

Sikap Khalifah Ali itu ditanggapi beragam. Intinya, ada yang mendukung dan ada yang menentang. Di mata para penentangnya, Ali dianggap membela si pembunuh yang nyata-nyata musuh umat. Maka, selain Muawiyyah, tampil tiga pemimpin lain yang menyatakan melawan Ali. Mereka adalah Aisyah, Zubair, dan Thalhah.
Pasukan Ali dengan mudah menekuk perlawanan ketiga pemimpin tersebut. Yang terberat adalah menghadapi pasukan Muawiyyah. Ali sendiri ikut turun ke medan perang menyerbu Syam. Sementara Muawiyyah yang terkenal licin berhasil menarik politisi ulung Amru bin Ash yang menjabat Gubernur Mesir untuk mendukungnya. Muawiyyah kemudian menyatakan mendirikan kekhalifahan tandingan.

Pertempuan kedua kubu itu tak terhindarkan. Perang Shifin meletus di kawasan hulu Sungai Eufrat yang kini dikenal sebagai perbatasan Irak dan Suriah. Dalam pertempuran itu, sebenarnya Muawiyyah sudah terdesak. Dengan siasat licik yang diajukan Amru untuk memecah kekuatan Ali, Muawiyyah mengajak Ali berunding di bawah lindungan Kitab Al-Qur’an.

Siasat itu memang jitu. Kubu Ali terpecah: sebagian menilai ajakan itu patut dihormati dan sebagian lagi menganggap itu tipu-daya Muawiyyah. Sementara, Ali yang lebih mengutamakan upaya persatuan umat, lebih memilih mengikuti ajakan berunding. Dalam perundingan itu, Ali diwakili oleh Abu Musa al-Anshari, sedangkan Muawiyyah diwakili Amru bin Ash. Keduanya sepakat untuk melengserkan Ali dan juga Muawiyyah. Tapi, ternyata Amru mengingkari kesepakatan itu.

Perpecahan umat itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus, komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Muawiyyah telah melanggar hukum Tuhan. Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan keluar dari barisan Ali dan tidak memihak barisan Muawiyyah. Karena itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum Khawarij, dengan semboyannya yang terkenal: la hukma ilallah atau tiada hukum melainkan hukum Allah.
Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan. Sayyidina Ali tewas di tangan Abdurrahman pengikut Khwarij pada 661. Sedangkan Muawiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu. Pada saat itu, Muawiyyah sudah memindahkan pemerintahannya ke Damaskus.

Lolos dari upaya pembunuhan, dan terbunuhnya Ali, memuluskan jalan Muawiyyah untuk lebih mengokohkan kekuasaan. Pada masa itulah berakhirnya model pemerintahan kekhalifahan yang dicontohkan Rasulullah lalu dilanjutkan oleh Khulafa Urrasyidun. Muawiyyah menyanangkan berdirinya Dinasti Bani Umayyah dan dialah raja pertamanya. Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.

Sejalan dengan itu, di kubu Muawiyyah itu berkembang pula paham teologi yang melanggengkan kekuasaannya. Inti ajarannya, umat harus pasrah pada nasib dan tunduk kepada pemimpin, karena semua itu adalah ketetapan Allah. Kaum yang berkepentingan untuk mempertahankan status quo itu lalu dijuluki sebagai kaum Jabariyah. Ibnu Abdul Bar

Tahkim Pascaperang Siffin

Perang saudara antara kubu Muawiyah dan Ali akhirnya mereda. Kedua belah pihak akhirnya bertemu di meja perundingan melalui Tahkim, yakni penunjukan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut.

Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy'ari untuk menjadi penengah. Ibnu Hibban dalam At Tsiqatmengungkapkan, tahkim itu berisi keputusan bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Irak dan penduduknya.

Sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya. Sesuai kesepakatan tidak ada penggunaan senjata dan hal ini berlaku dalam satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang.

Tahkim itu sama sekali tak mengharuskan Muawaiyah membaiat Ali. Dan Khalifah Ali pun tidak memiliki  keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman. Hasil tahkim itu membuat sebagian kubu Ali protes dan bahkan murka. Mereka menyatakan diri keluar dari Ali dan membentuk kelompok Khawarij.

Gerakan Khawarij pun berencana untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Ash. Dari ketiga orang yang diincar Khawarij itu, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh. Khalifah Ali wafat pada  malam ke-17 bulan Ramadhan tahun 40 H. berbagai sumber


 khalifah Ali bin Abi Thalib ra.

Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.

Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.

Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".

Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.

Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."

Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.

Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"

Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.

Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.

Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."

Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.

Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.

Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.

Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.

Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.

Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.

Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.


Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra
Sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir quraisy.

Bagi Fatimah, sosok rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.

Maka, saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.

Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah.

Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana, Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.

Pun, demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.

Dan lihatlah...langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. HIngga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling berhak...Fatimah.

Namun, waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.

Pada masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah...di tengah isak tangis Fatimah...Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini...terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah berkata, "Sepeninggalku, ...diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku..."

Kini, Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam erat tangannya...seakan ingin berkata, "kutunggu dirimu nanti di surga...bersama ayah...", Fatimah Az-Zahro menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya... dalam deraian air mata... Ali menguburkan jasad istrinya tercinta itu...yang masih belia itu...sendiri...di tengah malam buta...Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian, dengan dua tangan terkepal. Ali bangkit berdiri...dan berteriak sekeras-seKerasnya sambil menghadap langit...." A L L A H U ... A K B A R".


Pertempuran Antar Sahabat
Amirul Mukminin Ali ra., kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan. Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya (Ustman bin Affan) menyulut kontroversi. Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan.

Yang harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul pahit.

Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah 'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau, "orang lemah terlihat kuat dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya".

Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk Syam. Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik. Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs), kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal mulanya masa kemunduran Islam.

Ketidaksempurnaan informasi yang diterima bunda Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab bunda Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan menunggangi Unta. Bersama Aisyah, turut pula sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali mengutus beberapa pasukan khusus untuk mengawal kepulangan bunda Aisyah ke Mekkah.

Berikutnya adalah Perang Shiffin. Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu dialog.

Perundingan inilah yang kemudian membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat Ali di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di sisi lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal dengan negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya. Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.

Dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini, lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian Khalifah Ali.

Khawarij itu, Tiga untuk Tiga... Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan tersebut. Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.

Menjelang wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak psikologis amat berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin lalu oleh warga Kufah.

Karena itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”

Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”

"Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih mewakili hati yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat itu. Mereka menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan yang nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari kelakuan keji itu...

Usaha Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya, Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.

Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”

Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.

Islam telah ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik hidupnya telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin akan pula menjadi abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang ingin membawa bumi ini pada ketundukan kepada Allah SWT.

Saat ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.

Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri, dan juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah : "Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".

Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau, "Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit".

Khalifah Ali ra adalah sebuah legenda. He is a legend. Dan legenda tidak akan pernah mati. Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu, dan kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian matamu. Hadirkan para legenda-legenda Islam itu, termasuk beliau ini, dalam benakmu dan niscaya ia akan menjadi penerang bagimu...seterang-terangnya cahaya yang pernah ada di muka bumi.

Wallahu`alam

10 SAHABAT PENGHUNI SURGA: UMAR BIN KHATTAB R.A.(586-590 M)



Umar bin Khattab adalah khalifah yang kedua sesudah Nabi SAW wafat.  Pengangkatan Umar menjadi khalifah adalah berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai- ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).

Umar lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang.  Umar mempunyai watak yang sangat keras dan berani.  Karena keberaniannya itulah ia dijuluki sebagai Singa Padang Pasir.

Ia juga amat keras dalam membela agama tradisional bangsa Arab yang menyembah berhala serta menjaga adat-istiadat mereka.  Pada jaman jahiliyah, ia pernah mengubur putrinya hidup-hidup demi menjaga kehormatannya.  Pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya. Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.

MASA KEKHALIFAHAN UMAR BIN KHATTAB RA

Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria, sekarang istambul), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.

Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang.
Selama menjadi khalifah Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana  sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya. Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.

sumber:http://kisahsahabatnabi-byputri.blogspot.co.id/2011/12/umar-bin-khattab-ra586-590-m.html