f 07/09/18 ~ Urwatun Wursqa
  • Pondok Pesantren Mafaza Yogyakarta

    Sebuah Pondok pesantren yang ada di Yogyakarta, tempatku membangun karakter dan mental dengan ilmu agama yang diajarkan...

  • Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

    Sebuah kampus yang akan membangun kader pemimpin bangsa dan penegak hukum yang amanah dan dapat dipercaya http://uin-suka.ac.id/...

  • Kampus MAN Lab. UIN Yogyakarta

    Lembaga setingkat SMA, yang dalam lembaga itu aku memulai belajar berorganisasi, belajar bertanggung jawab, serta belajar menjadi pemimpin...

  • Kementrian Agama Republik Indonesia

    Salah satu kementrian yang ada dalam susunan penerintahan, yang suatu saat nanti aku akan menjadi pemimpin di Kementrian Agama Tersebut...

Senin, 09 Juli 2018

MAKALAH TABAYYUN DALAM PENEGAKAN HUKUM DALAM TAFSIR QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6


MAKALAH
TABAYYUN DALAM PENEGAKAN HUKUM
DALAM TAFSIR QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6
Mahasiswa AS – UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



  
Disusun oleh:
ALI MUTOHAR
(16350039)

Dosen Pembimbing:
MANSUR, S.Ag., M.Ag.

JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018

PEMBAHASAN
TAFSIR QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6

A.    Teks Ayat & Terjemahnya

Bunyi surah al-Hujurat (49): 6 sebagai berikut:
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِنْ جَاءَ كُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاِ فَتَبَيَّنُوْا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ ﴿٦﴾

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak  mencelakakan suatu kaumkarena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu.” [Q.S. Al-Hujurat (49): 6][1]
B.     Kata Kunci Hadis atau Mufrodat
Makna surah al-Hujurat ayat 6 ini dapat diketahui dari mufrodat-mufrodat berikut:
فاسق
:
Menurut Al-Maraghi fasiq adalah orang yang keluar dari batas-batas agama.[2] Sedangkan menurut Muhammad Ali Ash-Shobuni fasiq adalah orang yang keluar dari batas-batas syara’.[3]
بنبإ
:
Secara bahasa an-naba’ berarti  khabar (kabar atau berita). Jama’nya yaitu abna’seperti dalam kamus.  Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwasan  naba’ tidak dikatakan khabar apabila tidak berkaitan dengan hal yang penting, dan mempunyai faedah yang besar. [4]
فتبيّنوا
:
Mencari kejelasan dan pengetahuan, dapat di konfirmasi kebenarannya, yang dimaksud disini memverifikasi berita sehingga  manusia mengerti apa yang diperintahkan. [5]
Menurut Wahbah az-Zuhaili fatabayyanu diartikan mencari kejelasan yang nyata dan mengetahui kebenaran dari perkara yang dusta.[6]
بجهالة
:
Mereka dalam keadaan bodoh.
نادمين
:
Menyesal atas terjadinya sesuatu dan berharap tidak terjadi lagi. [7] Orang-orang yang menyesal, yakni orang-orang yang sedih berkepanjangan dan berangan-angan bahwa hal itu tidak terjadi. Karena penyesalan adalah kesedihan atas terjadinya sesuatu yang disertai angan-anagan sekiranya hal itu tidak terjadi.[8]


C.    Latar Belakang Munculnya Ayat atau Asbab an-Nuzul
Banyak ahli tafsir yang menyebutkan bahwa latar belakang turunnya surah al-Hujurat ayat 6 ini berkenaan dengan Utusan Rasulullah SAW bernama al-Wa’lid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith yang . diutus Rasulullah SAW untuk mengambil zakat di Bani Musthaliq. Para ahli tafsir tersebut diantaranya Muhammad Ali Ash-Shobuni, Abi Fida’i Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi ad-Dimasyqi (Ibnu Katsir) dan Abu Bakar Ahmad bin Ali ar-Razi al-Jashshosh (Imam al-Jashshosh).
Muhammad Ali ash-Shobuni mengemukakan dua argumen mengenai latar belakang turunnya surat al-Hujurat ayat 6 dalam tafsirnya, yaitu sebagai berikut:[9]
Pertama, diriwatkan oleh Imam Ahmad dari al-Harits bin Dlirar al-Kuza’i. Bahwa al-Harits menghadap Rasulullah SAW, Beliau mengajaknya masuk islam, diapun berikrar menyatakan diri masuk islam. Rasulullah mengajaknya mengeluarkan zakat, diapun menyangggupinya, dan berkata: “Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang mengikuti ajaranku dan akan aku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimkan utusan untuk mengambil zakat yang telah kukumpulkan itu!”.
Ketika al-Harits sudah mengumpulkan zakat dari kaumnya dan waktu yang ditetapkan telah tiba, tidak ada seorangpun utusan Rasulullah SAW yang menemuinya utuk mengambil zakat tersebut. Diapun memanggil hartawan kaumnya dan dan berkata: “sesungguhnya Rasulullah SAW telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tau mengapa beliau mengguhkan utusan itu. Mungkinkan beliau marah? Marilah kita berangkat mengahadap Rasulullah SAW.
Pada waktu yang telah ditetapkan Rasulullah telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang telah al-Harits kumpulkan. Ketika al-Walid berangkat, diperjalanan hatinya merasa tidak tenang, kemudian dia pulang sebelum sampai di tempat tujuan. Maka al-Walid memberi laporan palsu kepada Rasulullah SAW bahwa al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya dan mengancam akan membunuhnya.
Mendengar laporan tersebut Rasulullah mengirim utusan berikutnya kepada al-Harits. Di tengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan al-Harits dan sahabat-sahabatnya yang tengah menuju Madinah untuk menemui Rasulullah. Kemudian al-Harits menanyai utusan itu: “Kepada siapa engkau di utus?, utusan itupun menjawab: “ Kami diutus kepadamu”. “Mengapa?”, tanya al-Harits. Mereka menjawab: “sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah, namun dia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan engkau bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku.”
Sesampainya dihadapan Rasulullah SAW, bertanyalah beliau: “Mengapa engkau menahan zakat dan akan membunuh utusanku?”. Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah surah al-Hujurat ayat 6 sebagai peringatan kepada kaum Mukminin agar tidak menerima keterangan dari sebelah pihak saja.
.
D.    Korelasi dengan Ayat Lain atau Munasabah al-Ayat
Terdepat beberapa ayat dalam al-Quran yang membunyai hubungan atau korelasi dengan surah al-Baqarah ayat 6 diantaranya surah al-Isra’ ayat 36 dan lanjutan ayat tersebut yaitu surah al-Hujurat ayat 7.
Dalam makalah ini penulis mengambil surah al-Isra’ ayat 36 yang bunyinya sebagai berikut:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ قلى  اِنَّ السَّمْعِ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً ﴿۳٦﴾

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.” [Q.S. Al-Isra’(17): 36][10]
Surah al-Isra’ ayat 36 diatas mengandung makna yang selaras dan saling melengkapi surah al-Hujurat ayat 6. Surah al-Hujurat ayat 6 menyebutkan keharusan bertabayyun apabila menerima suatu berita atau informasi ataupun suatu pemahaman  dan cara berpikir terbaru.
 Sedangkan al-Isra’ ayat 36 mengisyaratkan untuk tidak mengikuti sesuatu yang belum diketahui secara jelas dan secara tersirat pula diperintahkan untuk menindaklanjuti sesuatu yang belum diketahui secara jelas kebenarannya hingga dapat diketahui kebenarannya. dan segala sesuatu yang digunakan untuk menerima berita atau informasi tersebut pasti akan di minta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.
E.     Penjelasan Ayat dari Berbagai Literatur Tafsir atau Syarh al-Qur’an
Begitu banyak ulama yang mengarang kitab tafsir dan menjelaskan dengan berbagai sudut pandang, seperti Muhammad Ali Ash-Shobuni dan imam al-Qurthubi yang menafsirkan Al-Qur’an dari sudut pandang fiqh,  kemudian Ibnu Katsir dan ar-Razi yang menafsirkan Al-Qur’an dari sudut pandang kelimuan, dan masih banyak lagi corak-corak penafsiran Al-Qur’an.[11]
Dalam makalah ini penulis mengambil penjelasan dari kitab tafsir yang bercorak fiqih, seperti Muhammad Ali ash-Shobuni dan...
Muhammad Ali ash-Shobuni dalam kitab Rawai’ul Bayan  Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur’an Juz 2 menafsirkan surah al-Hujurat Sebagai berikut:[12]
1.      Surat al-Hujurat dapat disebut juga atau termasuk surat akhlak dan adab. Diantara keutamaan surat ini yaitu:
a.       Kewajiban mempertegas ketaatan kepada Rasulullah SAW
b.      Menghormati Rasulullah SAW secara maksimal dan jangan meninggikan suara ketika ada beliau.
c.       Wajib meneliti kebebaran kabar-kabar yang beredar, dan jangan berkata seperti perkataan orang fasik
d.      Larangan memberi julukan yang tidak disenangi.
e.       Larangan terhadap perilaku memata-matai, seudzon, dan akhlak-akhlak yang buruk.
2.      Kata inja akum fasiqun bi nabain di surah al-Hujurat ayat 6 tersebut mengisyaratkan kepada kaum mukmin untuk waspada terhadap segala sesuatu, tidak menerima setiap perkataan yang dikirim kepada kita tanpa mengetahui sumbernya secara detail. Dengan kata lain, apabila datang berita dari orang fasik  maka bertabayyun atau meng-crosscheck kebenaran berita yang dia bawa.
Didalam tafsirnya Muhammad Ali Ash-Shobuni juga menjelaskan hukum-hukum syariah yang dapat diambil dari penafsiran surah al-Hujurat ayat 6 tersebut, diantaranya sebagai berikut
1.      Apakah boleh menerima suatu berita jika berasal dari orang yang adil?
2.       
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar Al-Qurthubi (Al-Qurthubi) menafsirkan bahwa pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menerima berita. Dalam surah al-Hujurat ayat 6 ini, sumber berita dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu orang yang adil dan orang fasik. Apabila sumber berita itu berasal dari orang yang adil, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar ataupun  kecil dengan sengaja maka beritanya boleh diterima. Meskipun begitu, kondisi kefasikan dapat terjadi pada oreang islam yanaslinya adil sehinggaal-Qurthubi tetap mengisyaratkan agar seorang hakim dalam mengambil keputusan harus melakukan tabayyun terhadap berita yang diterimanya. [13]
F.     Analisis Penafsiran Ayat atau Qira’ah al-Muntijah
Menurut penulis Tabayyun adalah mencari informasi yang akurat terlebih dahulu sebelum memutuskan suatu perkara agar dikemudian hari tidak timbul permasalahan baru seperti fitnah dan perasaan menyesal akan keputusan yang telah di tetapkan.
Surah al-Hujurat (49): 6 termasuk ayat yang sangatlah agung, karena mengandung pelajaran yang penting agar umat islam tidak terjerumus ke lembah fitnah. Apabila dikaitkan dalam bidang hukum kata fatabayyanu sangatlah pantas untuk digunakan sebagai pedoman dalam menentukan hukum atau vonis. Karena dalam menentukan hukum seorang hakim harus mengetahui secara detail masalah yang sedang diperselisihkan. Hal ini perlu dilakukan agar jangan sampai seorang hakim menimpakan suatu bencana kepada suatu kaum yang tidak diketahui keadaan yang sebenarnya, yang man nanti akan menimbulkan penyesalan atas perbuatan yang terlanjur dilakukan dan berangan-angan sekiranya hal itu tidak pernah terjadi.
Seorang hakim yang bertabayyun atau tidak di akhirat nanti akan di tempatkan di tiga tempat sebagaimana hadis di bawah ini:
حدّثنا إسمعيل بن توبة حدثناخلف بن خليفت حدّثنا أبو هاشم قال لولا حديث ابن بريدة عن أبيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال القضاة ثلاثة اثنان فى االنار وواحد فى الجنّة رجل علم الحقّ فقضى به فهو في الجنة ورجل قضى للناس على جهل فهو فى النّار ورجل جار فى الحكم فهو فى النّار لقلنا إنّالقاضي إذا اجتهد فهو الجنّة ﴿رواه ابن المجة : ٢٣٠٦﴾[14]

Hadis di atas dapat dipahami bahwa ada tiga golongan hakim yaitu seorang hakim yang  akan menempati surga yaitu hakim yang memutuskan perkara dengan ilmunya atau, dan dua hakim yang akan menempati neraka yaitu hakim yang memutuskan perkara dengan kebodohan dan hakim yang berlaku curang dalam memutuskan perkara.
 Makna hadis di atas dengan penafsiran surah al-Hujurat ayat 6 adalah tentang mengetahui perkara/informasi yang sebenarnya dari sebuah masalah dan memutusakan masalah itu dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini informasi yang sebenarnya dapat diketahui dengan bertabayyun atau crosscheck terlebih dahulu. Akan tetapi hakim yang memutuskan perkara tanpa informasi yang benar  dengan tabayyun terlebih dahulu maka neraka tempatnya.

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:
1.      Tabayyun adalah mencari informasi yang akurat terlebih dahulu sebelum memutuskan suatu perkara agar dikemudian hari tidak timbul permasalahan baru.
2.      Kita wajib meneliti kebenaran suatu kabar, dan jangan langsung mempercayai orang fasik.
3.       Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar dan akan menjatuhkan vonis dari pihak yang tertuduh.
4.      Seorang  hakim harus bisa mengaplikasikan sikap tabayyun ini mengingat betapa pedihnya ancaman Allah SWT melaluli sabda Nabi Muhammad SAW bahwa seoranh hakim diancam masuk neraka apabila tidak menetapkan hukum ilmu atau dengan bertabayyun.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa., 1946. Tafsir Al-Maraghi Juz 26, Kairo: Musthofa Al-Babi Al-Halabi.
Al-Qurthubi, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar., 2006. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Juz 19, Beirut: Muassasah al-Risalah.
Ash-Shobuni, Muhammad Ali., 1980. Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur’an, Juz 2, Damaskus: Maktabah Al-Ghozali.
Az-Zuhalili, Wahbah., 2009. Tafsir Al-Munir Al-‘Aqidah Asy-Syari’ah Wa Al-Manhaj, Damaskus: Darul Fikr.
Kementerian Agama R.I., 2013. Al-Qur’an dan Terjemahannya Disertai Asbabun Nuzul, Klaten: CV. Sahabat.
Lidwa Pustaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadits
Syukur, Abdul., 2015. Mengenal Corak Tafsir Al-Qur’an, Pamekasan: El-Furqonia. Vol. 1, No.1.







[1] Kementerian Agama RI, A;-Qur’an dan terjemah disertai Asbabun Nuzul, (Klaten: CV. Sahabat, 2013), hlm.
[2] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 26 (Kairo, Musthofa Al-Babi Al-Halabi, 1946) hlm. 126
[3] Muhammad Ali Ash-Shobuni, Rawai’ul Bayan Tafsiri Ayatul Ahkam minal Qur’an, Juz 2, (Damaskus: Maktabah Al-Ghozali, 1980), hlm. 471.
[4] Ibid., hlm. 471.
[5] Ibid., hlm. 472.
[6] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah asy-Syari’ah wa al-Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr, 2009), hlm. 555.
[7] Muhammad Ali ash-Shobuni, op.cit., hlm. 472
[8] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, op.cit., hlm. 126.
[9] Muhammad Ali ash-Shobuni, op.cit., hlm. 475-477.
[10] Kementerian Agama R.I, op.cit. hlm.
[11] Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir Al-Qur’an”, El-Furqonia, volume I No.1, Agustus 2015, hlm 85-92.
[12] Muhammad Ali Ash-Shobuni, op.cit., hlm. 377-379.
[13] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an Juz 19, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2006),hlm. 369.
[14] Lidwa Pustaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadits