Nama : Ali Mutohar
NIM : 16350039
Jurusan : Al-Ahwal
Asy-Syakhsiyyah
Kelas : AS-B
Mata Kuliah : Tafsir Ayat Hukum
TUGAS UTS
REVIEW JURNAL
Judul Artikel
|
:
|
Menggali
Teks, Meninggalkan Makna: Pemikiran Singkat Muhammad Syahrur Tentang Poligami
|
Penulis Artikel
|
:
|
Lindra
Darnela
|
Nama Jurnal
|
:
|
Jurnal
Asy-Syir’ah
|
Volume &
Halaman
|
:
|
Vol. 42. No.
1, Hlm. 205-224
|
Tahun
|
:
|
2008
|
Sumber
|
:
|
http://asy-syirah.uin-suka.com/index.php/AS/article/view/257 diakses pada tanggal 28 Maret 2018, pukul
19.49 WIB.
|
Abstrak
Artikel ini ditulis oleh Lindra Darnela seorang dosen
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lindra Darnela menyatakan
bahwa Muhammad Syahrur membatasi bahasan
poligami menjadi dua batasan yaitu batasan dari segi kualita, maksimal empat
istri dan batasan dari segi kuantitas, istri kedua, ketiga, dan keempat harus
seorang janda yang ditinggal suaminya. Syahrur menafsirkan surat an-Nisa ayat 4
dengan membolehkan poligami dengan dua kondisi, yaitu pertama, istri kedua ,
ketiga dan kemepat harus seorang janda dan yang kedua harus adil kepada semua
istri. Apabila syarat itu tidak dipenuhi maka poligami itu dianggap gagal.
Pendahuluan
Poligami
dari dulu hingga sekarang terus saja menuai kritik dari berbagai pihak, baik
dari pemikir-pemikir barat maupun penikir-pemikir Islam. Dalam Islam sendiri
terdapat minimal tiga sikap mengenai praktik poligami. Sikap pertama
memandang bahwa poligami sebagai ketetapan agama yang boloh dilakukan oleh
semua orang selama sesuai dengan aturan-aturan Islam. Sikap kedua yaitu
membolehkan poligami dengan batasan-batasan tertentu yang belum ada sebelumnya.
Sikap ketiga yaitu mengharamkan poligami dalam segala kondisi dan
menganggapnya sebagai dosa dan harus dijatuhi hukuman.
Sikap
pertama didapati di negara Kuwait, Kerajaan Arab Saudi, dan negara Arab
Lainnya. Sikap kedua didapati di negara Maroko yang membatasi poligami dengan
syarat suami mampu berbuat adil, dan di Irak yang membatasi poligami dengan
janji suami mampu berbuat adil. Sedangkan sikap ketiga didapati di negara
Tunisia yang menghukum warga negaranya yang melakkan poligami.
Kecenderungan
orang yang menolak poligami itu didasarkan pada berkurangnya kedudukan atau
derajat perempuan. Selain itu praktik poligami ditakutkan akan memunculkan
permusuhan dan kesenjangan sosial antara istri-istri dan kerabatnya. Hal inilah
yang membuat Syahrur memberikan perhatian khusus mengenai praktik poligami
dengan membahas di dalam bukunya yang berjudul Nahw Usul Jadidah li al-Fiqih
Islami, Fiqhul Mar’ab. Dalam artikel ini Lindra Darnela menjelaskan
bagaimana Syahrur menafsirkan ayat Al-Qur’an dan memahaminya sesuai instimbat
hukum yang khas menjadi landasan berfikrnya.
Biografi Muhammad Syahrur dan Metode Pemikirannya
Nama lengkap Syahrur adalah Ibnu Daib Syahrur,
lahir di Damaskus (Syiria) pada tanggal 11 Maret 1938, seorang pemikir muslim
kontemporer walaupun bukan berlatar belakang pendidikan keislaman. Ia seorang
ahli dalam bidang teknik sipil.
Penafsiran ulang ayat-ayat al-Qur’an menjadi
salah satu hal yang diperhatiakan Syahrur, dengan mengemukakan istilah sabat
an-nas wa tagayyur al-mubtawa, artinya Al-Qur’an itu teksnya tetap, namun
muatan makna teksnya ditafsirkan secara dinamis. Metode yang digunakan Syahrur
untuk mengkaji kembali Al-Qur’an adalah al-manhaj at-tarikh al-ilmi (metode
historis ilmiah). Metode ini menggunakan prinsip
a. Adanya keterkaitan antara ucapan dan bahasa sebagai alat menyampaikan
gagasan
b. Pengetahuan manusia bersifat inderawi dan personifikasi.
c. Mengingkari adanya sinonim, karena setiap kata mempunyai makna tersendiri.
d. Memahami dengan tartil, yaitu mengaitkan dengan ayat lain.
Poligami Menurut Sayhrur
Syahrur
berpendapat bahwa poligami tidak hanya diperbolehkan namun juga sangat
dianjurkan dengan dua syarat, pertama,
istri kedua, ketiga, dan keempat merupakan janda-janda yang mempunyai anak
yatim. Kedua, Suami harus mempunyai rasa khawatir jika tidak mampu
berbuat adil terhadap anak yatim. Apabila kedua syarat itu tidak dapat
terpenuhi semua maka anjuran poligami itu menjadi gugur.
Kedua
syarat itu diambil berdasarkan “struktur kaidah bahasa” dalam surat an-Nisa
ayat 4, bahwa Allah SWT sangat memulikan janda dengan menggunakan kata-kata
yang halus ma taba lakum (perempuan-perempuan yang kamu senangi) bukan “mashi’tum
min an-nisa”. Syahrur juga melihat bayaknya laki-laki yang berniat poligami
utuk mendapatkan ridha Allah SWT padahal dia tidak akan mampu berbuat adil
dalam memberi nafkah untuk anak dan istri-istrinya. Untuk itu Allah berfirman
dalam lanjutan surat an-Nisa ayat 4 tersebut. Hai ini menjadi perintah larangan
berpoligami dan mencukupkan dengan seorang istri saja apabila tidak mampu
berbuat adil.
Analisis terhadap Kerangka Berpikir Syahrur
Kerangka
berfikir syahrur menggunakan analisis teks kebahasaan, dimana pemikiran syahrur
tetap dalam bingkai epistemologi bayani (ekplanatori), yaitu sebuah
episteme yang titik tolaknya berangkat dari teks (nas). Sedangkan metode yang
digunakan dalam penafsiran, Syahrur menggunakan metode maudhu’i (tematis),
yang didefinisikan Quraisy Shihab sebagai tafsir yang menetapkan suatu topik
tertentu dengan jalan menghimpun sebagaian atau seluruh ayat dari berbagai
surat yang berkaitan dengan topik tersebut untuk kemudian dikaitkan dengan
lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan secara menyeluruh mengenai
suatu hukum dalam Al-Qur’an.
Pendapat Mufasir tentang Poligami
Fazlur Rahman menafsirkan bahwa yang
diinginkan Al-Qur’an itu bukan praktik beristri banyak, karena laki-laki dan
perempuan itu mempunyai hak yang sama. Syarat mengenai keadilan merupakan
kiasan bahwa laki-laki tidak akan pernah bisa berbuat adil. Sebagaimana surat
an-Nisa ayat 129, “kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil diantara
istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin bebuat demikian”.
Qosim Amin berpendapat bahwa poligami hanya
dapat dilakukan dengan keadaan sangat terpaksa. Apabila dilakukan dalam keadaan
mormal maka akan menyakiti hati istri pertama karena harus berbagi kasih dengan
perempuan lain. Quraisy Shihab mengkiaskan poligami sebagai pintu darurat yang
hanya bisa dibuka pada saat tertentu saja.
Analisa terhadap Poligami
Penulis
mengungkapkan bahwa perempuan dalam Islam dipandang mengurung perempuan dalam
“naungan ideologi patriarki”, pandangan bahwa kaum laki-laki lebih unggul dari
kamu perempuan. Sehingga tidak mungkin berbicara hak-hak perempuan secara adil,
tanpa melihat kinerja metode ini dalam ilmu tafsir atau ilmu fikih yang sarat
akan muatan kepentingan.
Setiap
manusia mempunyai hak yang sama yaitu pertama, hak yang melekat pada
diri manusia sejak dilahirkan atau yang dikenal Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua,
hak yang bersumber dari tindakan manusia yang bebas berpendapat, bersuara,
berserikat, dan membuat pilihan-pilihan perjanjian. Dalam poligami hak-hak perempuan
untuk memperoleh kesenangan seksual dibatasi pada satu banding empat dengan seorang laki-laki. Kontradiksi
ini menjadi akar utama persoalan hak-hak dan larangan-larangan bagi tingkah
laku seksual perempuan.
Laki-laki
diperbolekan menikahi perempuan lebih dari satu orang karena ketika perang Uhud
banyak tentara Islam yang syahid dan meninggalkan istri dan anaknya. Dari sini
disyaratkannya menikahi janda-janda maksimal empat orang.
Kebolehan poligami bukanlah persoalan pokok
yang ada dalam Al-Qur’an, namun hanya sebagai alternatif yang dapat
dilaksanakan pada kondisi tertentu saja dengan syarat tertentu pula. Beberapa
argumentasi yang mendukung masalah poligami: pertama, poligami
diperbolehkan saat orang arab mempraktikannya tanpa batasan termasuk jumlah
istri yang boleh dinikahi. Kedua, tidak ada satupun ayat yang jelas
menunjukkan kebolehan poligami dalam Al-Qur’an, yang ada hanya ayat yang
didahului masalah anak yatim diikuti kebolehan poligami dengan syarat harus
berbuat adil. Ketiga, Gaya bahasa dalam ayat poligami berupa amr (perintah),
bukan khabar (berita). Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih
penting dari pada diperbolehkannya poligami.
Penutup
Diakhir
artikel penulis memberi kesimpulan bahwa hingga saat ini persoalan poligami
masih menjadi perdebatan diantara pemikir-pemikir Islam. Masing-masing dari
mereka menggunkan metode istimbat yang berbeda sehingga pemikiran
merekapun berbeda-beda sesuai perspektif mereka. Penafsiran Syahrur dalam
memahami surah an-Nisa ayat 4 menggunakan metode “kembali kepada teks” secara
utuh buka parsial sehingga praktik poligami itu tidak akan bisa
terlaksana.