MAKALAH
PEMIMPIN
WANITA DAN
LARANGAN
BERAMBISI MENJADI PEMIMPIN
Mahasiswa AS – UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Disusun Oleh:
Nadzif
Arfa Az-Zuhri (16350038)
Ali Mutohar (16350039)
Dosen Pembimbing:
Drs.
Abu Bakar Abak, M.M.
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya Allah menciptakan
manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk
mendarmabaktikan dirinya kepada-Nya. Islam datang membawa ajaran yang egaliter,
persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda
sehingga laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan. Dengan demikian, Islam
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal kedudukan,
harkat, martabat, kemampuan, dan kesempatan untuk berkarya.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri
adalah perempuan merupakan bagian integral dari masyarakat. Secara biologis
perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi dari segi hak dan kewajiban sebagai
manusia sama. Jadi, keberadaan perempuan bukan sekedar pelengkap bagi
laki-laki, melainkan mitra sejajar dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang
bersifat domestik seperti rumah tangga maupun publik. Namun demikian, kenyataan
yang terjadi di masyarakat seringkali tidak sesuai dengan pernyataan di atas,
di mana masih terjadi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Islam yang datangnya belakangan telah
mengangkat derajat kaum wanita dan telah menempatkan kaum wanita secara proporsional
dan sesuai dengan fitrahnya. Islam tidak melarang wanita untuk bekerja di luar
rumah tetapi mengapa banyak kaum muslimin yang mengekang wanita? Banyak umat
Islam yang menahan wanita Islam untuk tetap di rumah dengan mengatasnamakan
agama. Para wanita hanya diperkenankan mengurus rumah tangga, suami dan anak
dan tidak diperkenankan untuk membuktikan kiprahnya di tengah masyarakat
sehingga saat-saat penting yang seharusnya dipegang kaum muslimah, dipegang oleh
laki-laki atau wanita yang tidak mencerminkan akhlaq islami. Apakah demikian
ajaran islam yang benar?
Dalam makalah ini akan di bahas
bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap wanita yang bekerja diluar rumah
dan menjadi seorang pemimpin khususnya pemimpin negara. Bolehkah searang wanita
menjadi pemimpin? Dalam bidang apakah yang dibolehkan dalam pandangan Islam dan
dalam hal apa yang dilarang?
Setelah mengetahui
boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin selanjutnya akan dibahas larangan untuk
berambisi menjadi pemimpin. Dimana pada masa sekarang banyak orang yang berebut
kursi untuk menjadi pemimpin rakyat, sedangkan Islam melarangnya.
BAB
I
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan diartikan
sebagai kemampuan seseorang sehingga ia memperoleh rasa hormat (respect),
pengakuan (recognition),
kepercayaan (trust), ketaatan (obedience),
dan kesetiaan (loyalty) untuk memimpin kelompoknya
dalam kehidupan bersama menuju cita-cita.[1]
Kepemimpinan (leadership) diartikan juga sebagai proses mempengaruhi yang dilakukah oleh seseorang terhadap orang lain
untuk dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan atau sasaran bersama yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan pengertian kepemimpinan di atas, pemimpin dapat didefinisikan
sebagai individu yang memiliki pengaruh terhadap individu lain dalam sebuah
system untuk mencapai tujuan bersama.
B.
KEPEMIMPINAN WANITA
1.
Teks Hadis dan Terjemah
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ
قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّه بِكَلِمَةٍ سمعتها من رسول لله صلي الله
عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ لَمَّا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّ اهل فَارِس قد مَلَّكُوا عليهم بنت كِسْرَى قَالَ لَنْ
يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة (رواه البخاري)[2]
Artinya:
Telah
menceritakan kepada kami Utsman bin Al Haitsam telah menceritakan kepada kami
Auf dari Al Hasan dari Abu Bakroh mengatakan : Allah memberikan manfaat
kepadaku dengan sebuah kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari
perang jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka Ashabul Jamal dan berperang
bersama mereka, ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia
mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda: Tidak akan beruntung
suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.
" (
HR. Al Bukhori)
2.
Asbab al-Wurud Hadist
Da’wah Islamiyah yang dilakukan
Rosulullah ke berbagai daerah dan negara di antaranya dilakukan dengan
mengirimkan surat kepada pembesar-pembesar kerajaan. Salah satu kerajaan yang
mendapatkan surat dari Nabi adalah Kisra Persia. Berikut kisahnya: ”Rosulullah
mengutus ’Abdullah bin Hudzafah as-Sami untuk mengirimkan surat kepada pembesar
Bahrain. Setelah itu pembesar Bahrain menyampaikan surat tersebut kepada Kisra.
Setelah membaca surat dari Rosulullah, ia menolak dan bahkan menyobek-nyobek
surat Rosul. Peristiwa ini didengar Rosulullah, kemudian beliau bersabda:
”Siapa saja yang telah merobek-robek surat saya, dirobek-robek (diri dan
kerajaan) orang itu”.
Selang beberapa waktu kemudian, terjadi
suksesi dan pertumpahan darah yang menyebabkan kematian sang raja. Kerajaan
tersebut mengalami kekacauan selama kurang lebih tiga tahun. Pada akhirnya,
diangkatlah Buwaran binti Syairawaih bi Kisra (cucu Kisra) sebagai ratu karena
ayah dan saudara laki-lakinya terbunuh dalam peristiwa tersebut. Hal ini
terjadi sekitar tahun 9 H. Mendengar hal ini, Rosulullah bersabda : ”Tidak akan
beruntung suatu kaum yang diperintah perempuan”.
3.
Kandungan Hadits
Hadits
tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah
keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari
sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk
kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini, menurut al-Qâdhi
Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin
daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini,
dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan
semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad,
Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi
pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga,
menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya
sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh
jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin. Sedangkan Abu
Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi
hakim dalam perkara pidana.[3]
Adapun Ibnu
jarir At-tobari membolehkan wanita menjadi pemimpin secara mutlak.[4] Begitu
juga Yusuf Al-Qordhawi memperbolehkan wanita dalam berpolitik. Beliau
menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki
adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika
ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita,
bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya
tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul
dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada
kaum laki-laki.[5]
C.
LARANGAN BERAMBISI MENJADI PEMIMPIN
1.
Hadis Rasulullah SAW
حَدَّثَنَا
أَبُو النُّعْمَانِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ
أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى
يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ
الَّذِي هُوَ خَيْرٌ (أخرجه البخاري فى كتاب الأيمان والنذور
باب قول الله تعالى لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم)
Artinya:
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu'man Muhammad bin Fadhl telah menceritakan
kepada kami Jarir bin Hazim telah menceritakan kepada kami Al Hasan telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Abdurrahman bin Samurah, Janganlah kamu
meminta jabatan, sebab jika engkau diberi (jabatan) karena meminta, kamu akan
ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tidak meminta, kamu akan ditolong,
dan jika kamu melakukan sumpah, kemudian kamu melihat suatu yang lebih baik,
bayarlah kaffarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih baik." (H.R.
Bukhari nomor 6132 kitab Iman dan bab Allah tidak menyiksa
sumpah yang kalian lakukan dengan main-main)
Masih berkaitan dengan
permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Zar al-Gifari ra. Ia
berkata: “Wahai Rasulullah saw., tidakkah engkau menjadikanku sebagai
pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya
bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ، وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا.[6]
Artinya:
Wahai Abu Zar,
sesungguhnya engkau adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan
pemerintahan itu adalah sebagai amanat dan sebenarnya jabatan sedemikian itu
adalah merupakan kerendahan serta penyesalan pada hari kiamat bagi orang
yang tidak dapat menunaikan amanatnya, kecuali seseorang yang mengambil amanat
itu dengan hak sebagaimana mestinya dan menunaikan apa yang dibebankan
atas dirinya perihal amanat yang dipikulkan tadi. (Riwayat
Muslim).
Al-Imam Nawawi rahimahullah memaparkan hadis Abu
Zar di atas dalam kitab beliau Riyadu al-Salihin, bab Larangan meminta jabatan
kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas
untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.[7]
2.
Penjelasan Umum
Demikian
besarnya perhatian Rasulullah berkenaan dengan yang namanya jabatan, karena itu
merupakan masalah krusial bagi masyrakat. Tidak jarang kita jumpai orang-orang
yang menginginkan, mencalonkan, dan berupaya dengan segala macam cara guna
mendapatkan jabatan yang di inginkan. Padahal jelas, orang yang meminta jabatan
bahkan sampai mengeluarkan biaya besar, maka usaha pertama yang akan di
lakukannya adalah bagaimana modal yang dia keluarkan bias segera kembali
sembari mencari untung lebih dari jabatannya itu.
Ketamakan
dan keserakahan telah membutakan orang-orang yang mendapatkan jabatan dengan
modal, sehigga dalam perbuatannya tidak mencerminkan seorang pemimpin yang
teladan serta patut di contoh.
Padahal
hal itu telah menjadi trend dan bahkan mungkin suatu kewajiban atau syarat
mutlak bagi orang-orang yang ingin mendapatkan jabatan, baik public, peradilan,
penegakan hukum, ekonomi dan sebagainya.
Bahkan Rasulullah bersabda bagi para pencari jabatan sebagai seorang yang
meminta untuk di jadikan pejabat peradilan
مَنْ
طَلَبَ قَضَأَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ جَوْرَهُ فَلَهُ
الْجنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جُوْرُهُ عَدْلُهُ فَلَهُ النَّارُ
Artinya : Barangsiapa
yang meminta jabatan untuk mengurusi perkara orang muslim, kemudian dia
mendpatkannya, maka apabila keadilannya dapat mengalahkan ketidakjujurannya,
maka baginya surga; dan barangsiapa ketidakjujurannya mengalahjan keadilannya,
maka baginya neraka.
Jabatan adalah amanah, bilamana seseorang mendapatkan
amanat tersebut tanpa ia harus meminta Allah sendiri yang akan memberikan
pertolongan dan kekuatan untuk bissa menjalankan amanah tersebut, dan dalam
kepemimpinannya Insya Allah akan menjadi pemimpin yang adil, memahami rakyat,
mengutamajan kepentingan umum. Akan tetapi bagi mereka
yang mendapatkan jabatan dengan cara meminta apalagi sampai mengeluarkan modal,
maka Allah tidak menjamin bahwsa dia akan menjadi sosok pemimpin yang adil dan
bila menjalankan tugas dengan baik.
3.
Faedah Hadis
a.
Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan
kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk
meraihnya, dan menempuh segala cara untuk mendapatkannya.
b.
Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab
yang berat. Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak
orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah
tersebut.
c.
Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang
yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang
kepemimpinan dan kekuasaan tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yang
adil, ataukah bendahara yang terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
d.
Kerasnya
hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak
memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak melakukan upaya optimal
dalam memperbaiki urusan kepemimpinannya.
e.
Larangan
memberikan jabatan pemerintahan atau jabatan penting lainnya kepada orang yang
tamak untuk memperolehnya. Sebab orang seperti itu akan menyalahgunakan
jabatannya bagi kepentingan pribadinya.
f.
Tidak
ada larangan bagi orang yang sanggup berlaku adil untuk mengajukan diri sebagai
pemimpin yang akan mengurus permasalahan umat.
g.
Pertolongan Allah dan dukungan umat akan dating pada mereka
yang bertekad untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan kemadharatan.
h.
Berbagai macam permasalahan harys diserahkan
pada orang yang layak dan ahli dalam menyelesaikannya.
4.
Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/ kepemimpinan
Kepemimpinan
adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul
amanah. Dan tentunya,
yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian
tugas menjadi pemimpin itu berat. Sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah
orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak
akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam juga bersabda:
إِذَا ضُيِّئَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةُ. قال : كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟
قَال : إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ
أَهْلِهَا َانْتَظِرِ السَّاعَةُ
Artinya:
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari
kiamat. Ada yang bertanya: 'Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan
menyia-nyiakan amanah?' Beliau menjawab: 'Apabila perkara itu diserahkan kepada
selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat".” (HR.
Bukhari no. 59)
Selain itu,
jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi
untuk mendapatkannya. Abu Musa radliallahu 'anhu berkata: "Aku dan dua
orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata: "Angkatlah
kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah". Temannya pun meminta
hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
إِنّا لا نُوَلّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَ
لا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
"Kami
tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk
mendapatkannya." (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim
no. 1733)
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:
1.
Kepemimpinan dalam bahasa arab di kenal melalui/dalam beberapa istilah,
yaitu ; khalifah (khilafah), imaroh dan imamah. Kata khalifah berasal
dari bahasa arab khalafa yang dalam al-qur'an disebut sebanyak 127 kali. Kepemimpinan (leadership) diartikan juga
sebagai proses mempengaruhi yang dilakukah
oleh seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerjasama dalam mencapai
tujuan atau sasaran bersama yang telah ditetapkan.
2.
Dalam Islam wanita
dilarang menjadi pemimpin utama suatu negara atau presiden. Sedangkan untuk
menjadi pemimpin di bawahnya diperbolehkan seperti kepala daerah, kepala dinas,
dan sebagainya.
3.
Meminta jabatan
atau berambisi menjadi pemimpin dalam islam juga dilarang, dan Allah akan
mengabaikan orang yang berambisi menjadi pemimpin tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Agama R.I., 2013. Al-Qur’an dan Terjemahannya
Disertai Asbabun Nuzul, Klaten: CV. Sahabat.
Lidwa Pusaka
i-Software – Kitab 9 Imam Hadits
Al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan
al-Qusyairi., t.th. Sahih Muslim, Jilid. III Beirut: Dar Ihya al-Turas
al-‘Arabi.
Al-Hilali., Syaikh Salim bin ‘Ied
al-Hilali, 2008. Bahjatun Nazirin Syarh Riyadis Salihin, Jilid. II, terj.
Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i .
Al Asqolani, Ahmad bin Ali bin
Hajar.,
2001. Bulughul Marom Kitabul Qodo, Berut: Darur Fikr.
Azizi, Qadri., 2002. Elektisisme
Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Nasional dan Hukum Umum. Cet. I, Yogyakarta: Gama Media.
Al Qardhawi,Yusuf., 2008. Meluruskan
Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan
Liberalisme”, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsa.
Kartono., 2011. Pemimpin
Dan Kepemimpinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
[2] Ahmad bin Ali bin Hajar al
Asqolani, Bulughul Marom Kitabul Qodo, (Berut: Darur Fikr 2001),hlm.245.
[3] Taqiyuddin Abil Fath, Ikhkamul Akhkam,
Kitabul Aiman wan-Nadar, (Berut: Darul Alamiyyah,2008), hlm. 139.
[4] Qadri Azizi, Elektisisme Hukum
Nasional, Kompetisi antara Hukum Nasional dan Hukum Umum. Cet. I, (Yogyakarta: Gama Media,
2002), hlm. 37.
[5]
Yusuf Al Qardhawi, Meluruskan
Dikotomi Agama & Politik “Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan
Liberalisme”, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm 126.
[6] Muslim
bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih
Muslim, Jilid. III (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, t.th.), hlm. 1457.
[7] Syaikh Salim
bin ‘Ied al-Hilali, Bahjatun Nazirin Syarh Riyadis Salihin, Jilid. II, terj.
Badrussalam dan A. Sjinqithy Djamaluddin, (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2008), hlm. 472.
0 komentar:
Posting Komentar