Kamis, 14 April 2016
DAHSYATNYA SEDEKAH DI HARI JUM'AT
By Ali al-Amsori at 18.52.00
No comments
Hari Jum'at merupakan hari yang paling utama dari semua hari dalam sepekan. Dia adalah hari yang penuh barakah. Alloh Ta’ala mengkhususkan hari Jum’at ini hanya bagi kaum Muslimin dari seluruh kaum dari ummat-ummat terdahulu.
Dari Salamah dari Abu Hurairah ra. Nabi saw. bersabda:“Hari terbaik yang terbit padanya matahari adalah hari Jum’at. Sebab pada hari itu Allah Azza wa Jalla menciptakan Adam as. Dia memasukkan Adam ke surga, pada hari itu ia diturunkan ke bumi, dan pada hari itu terjadi kiamat serta pada hari itu terdapat satu masa dimana tidak seorangpun berdo’a kecuali Dia akan mengabulkan do’a itu. “(HR. Muslim)
Oleh karena itulah, Nabi saw sangat mengagungkan, mengistimewakan, serta memuliakan hari jumat di banding hari lainnya. Beliau banyak melakukan berbagai macam ibadah di hari itu. Banyak sekali keutamaan dan keistimewaan yang ada di hari jum'at di antaranya adalah bersedekah.
Ibnul Qayyim berkata: “Sedekah di hari Jum’at dibanding dengan sedekah di hari lain adalah seperti sedekah di bulan Ramadhan dibandingkan sedekah di bulan-bulan selainnya”.
Hari Jum'at adalah hari dimana sedekah berlipat ganda. Rasulullah SAW bersabda : “Pahala sedekah berlipat ganda pada hari Jum'at.”
Sedekah pada hari Jum’at lebih baik daripada sedekah di hari lainnya. Ibnu Taimiyah jika keluar menuju Jum’at beliau bawa apa yang ada di rumahnya lalu beliau sedekahkan dalam perjalanannya menuju masjid secara sembunyi-sembunyi”.
Kita Hanya Tahu yang Kita Inginkan, Tapi Allah Lebih Tahu Apa yang Kita Butuhkan
By Ali al-Amsori at 09.52.00
No comments
Posted By Phen Efendi on 22/12/15 | 12.14
Suatu hari, sebelum pulang kantor, sang suami menelpon istrinya, "sayang, alhamdulillah, bonus akhir tahun dari perusahaan sudah turun, Rp. 150 juta." Dibalik telpon, sang istri tentu saja mengungkapkan rasa syukurnya, "Alhamdulillah, semoga barokah ya mas".
Sejak beberapa bulan yang lalu mereka sudah merencanakan membeli mobil sederhana untuk keluarga kecilnya. Dan uang bonus yang cair kali ini, mereka rasa cukup pas untuk membeli mobil sesuai budget.
Namun dalam perjalanan pulang, dia ditelpon oleh ibunya di kampung, "Nak, kamu ada tabungan? Tadi ada orang datang ke rumah. Ternyata almarhum ayahmu punya hutang ke dia cukup besar, Rp. 50 juta." Tanpa pikir panjang, ia pun bilang ke ibunya, "Iya, Bu, insyaAllah ada." Dia berpikir, "Nggak apa-apa lah, masih cukup untuk beli mobil yang 100 jutaan, mungkin ini lebih baik."
Dia pun melanjutkan perjalanan. Belum tiba di rumah, Ponselnya kembali berdering. Seorang sahabat karibnya tiba-tiba menghubunginya sambil menangis. Sahabatnya itu sambil terbata mengabarkan bahwa anaknya harus segera dioperasi minggu ini. Banyak biaya yang tidak bisa dicover oleh asuransi kesehatan dari pemerintah. Tagihan dari rumah sakit Rp. 80 juta.
Lalu dia berpikir sejenak. Uang bonusnya tinggal 100 juta. Jika ini diberikan kepada sahabatnya, maka tahun ini ia gagal membeli mobil impiannya. Tapi nuraninya mengetuk, "Berikan padanya. Mungkin ini memang jalan Allah untuk menolong sahabatmu itu. Mungkin ini memang rezekinya yang datang melalui perantara dirimu." Ia pun menuruti panggilan nuraninya.
Setibanya di rumah, dia menemui istrinya dengan wajah yang lesu. Sang istri bertanya, "Kenapa, mas? Ada masalah? Nggak seperti biasanya pulang kantor murung gini?" Sang suami mengambil napas panjang, "Tadi ibu di kampung telpon, butuh 50 juta untuk bayar utang almarhum bapak. Nggak lama, sahabat abang juga telpon, butuh 80 juta untuk operasi anaknya. Uang kita tinggal 20 juta. Maaf ya, tahun ini kita tidak jadi beli mobil dulu."
Sang istri pun tersenyum, "Aduh, mas, kirain ada masalah apaan. Mas, uang kita yang sebenarnya bukan yang 20 juta itu, tapi yang 130 juta. Uang yang kita infakkan kepada orang tua kita, kepada sahabat kita, itulah harta kita yang sesungguhnya. Yang akan kita bawa menghadap Allah, yang tidak mungkin bisa hilang jika kita ikhlas. Sedangkan yang 20 juta di rekening itu, masih belum jelas, benaran harta kita atau akan menjadi milik orang lain."
Sang istri pun memegang tangan suaminya, "Mas, insyaAllah ini yg terbaik. Bisa jadi jika kita beli mobil saat ini, jsutru menjadi keburukan bagi kita. Bisa jadi musibah besar justru datang ketika mobil itu hadir saat ini. Maka mari berbaik sangka kepada Allah, karena kita hanya tahu yang kita inginkan, sementara Allah-lah yang lebih tahu apa yang kita butuhkan."
Sumber: http://inmotivasi.blogspot.co.id/2015/12/kita-hanya-tahu-yang-kita-inginkan-tapi-allah-lebih-tahu-apa-yang-kta-butuhkan.html
Pengantin Bidadari, Kisah Cinta Seorang Syuhada
By Ali al-Amsori at 09.44.00
No comments
Posted By Phen Efendi on 12/07/13 | 18.51
Pada masa Rasulullah, di Madinah, tinggallah seorang pemuda bernama Zulebid. Dikenal sebagai pemuda yang baik di kalangan para sahabat. Juga dalam hal ibadahnya termasuk orang yang rajin dan taat.
Dari sudut ekonomi dan finansial, ia pun tergolong berkecukupan. Sebagai seorang yang telah dianggap mampu, ia hendak melaksanakan sunnah Rasul yaitu menikah. Beberapa kali ia meminang gadis di kota itu, namun selalu ditolak oleh pihak orang tua ataupun sang gadis dengan berbagai alasan.
Akhirnya pada suatu pagi, ia menumpahkan kegalauan tersebut kepada sahabat yang dekat dengan Rasulullah.
“Coba engkau temui langsung Baginda Nabi, semoga engkau mendapatkan jalan keluar yang terbaik bagimu”, nasihat mereka.
Zulebid kemudian mengutarakan isi hatinya kepada Baginda Nabi.
Sambil tersenyum beliau berkata:
“Maukah engkau saya nikahkan dengan putri si Fulan?”
“Seandainya itu adalah saran darimu, saya terima. Ya Rasulullah, putri si Fulan itu terkenal akan kecantikan dan kesholihannya, dan hingga kini ayahnya selalu menolak lamaran dari siapapun.
“Katakanlah aku yang mengutusmu”, sahut Baginda Nabi.
“Baiklah ya Rasul”, dan Zulebid segera bergegas bersiap dan pergi ke rumah si Fulan.
Sesampai di rumah Fulan, Zulebid disambut sendiri oleh Fulan
“Ada keperluan apakah hingga saudara datang ke rumah saya?” Tanya Fulan.
“Rasulullah saw yang mengutus saya ke sini, saya hendak meminang putrimu si A.” Jawab Zulebid sedikit gugup.
“Wahai anak muda, tunggulah sebentar, akan saya tanyakan dulu kepada putriku.”
Fulan menemui putrinya dan bertanya, “bagaimana pendapatmu wahai putriku?”
Jawab putrinya, “Ayah, jika memang ia datang karena diutus oleh Rasulullah saw, maka terimalah lamarannya, dan aku akan ikhlas menjadi istrinya.”
Akhirnya pagi itu juga, pernikahan diselenggarakan dengan sederhana. Zulebid kemudian memboyong istrinya ke rumahnya.
Sambil memandangi wajah istrinya, ia berkata,” duhai Anda yang di wajahnya terlukiskan kecantikan bidadari, apakah ini yang engkau idamkan selama ini? Bahagiakah engkau dengan memilihku menjadi suamimu?”
Jawab istrinya, ” Engkau adalah lelaki pilihan rasul yang datang meminangku. Tentu Allah telah menakdirkan yang terbaik darimu untukku. Tak ada kebahagiaan selain menanti tibanya malam yang dinantikan para pengantin.”
Zulebid tersenyum. Dipandanginya wajah indah itu ketika kemudian terdengar pintu rumah diketuk. Segera ia bangkit dan membuka pintu. Seorang laki-laki mengabarkan bahwa ada panggilan untuk berkumpul di masjid, panggilan berjihad dalam perang.
Zulebid masuk kembali ke rumah dan menemui istrinya.
“Duhai istriku yang senyumannya menancap hingga ke relung batinku, demikian besar tumbuhnya cintaku kepadamu, namun panggilan Allah untuk berjihad melebihi semua kecintaanku itu. Aku mohon keridhoanmu sebelum keberangkatanku ke medan perang. Kiranya Allah mengetahui semua arah jalan hidup kita ini.”
Istrinya menyahut, “Pergilah suamiku, betapa besar pula bertumbuhnya kecintaanku kepadamu, namun hak Yang Maha Adil lebih besar kepemilikannya terhadapmu. Doa dan ridhoku menyertaimu”
Zulebid lalu bersiap dan bergabung bersama tentara muslim menuju ke medan perang. Gagah berani ia mengayunkan pedangnya, berkelebat dan berdesing hingga beberapa orang musuh pun tewas ditangannya. Ia bertarung merangsek terus maju sambil senantiasa mengumandangkan kalimat Tauhi…ketika sebuah anak panah dari arah depan tak sempat dihindarinya. Menancap tepat di dadanya. Zulebid terjatuh, berusaha menghindari anak panah lainnya yang berseliweran di udara. Ia merasa dadanya mulai sesak, nafasnya tak beraturan, pedangnya pun mulai terkulai terlepas dari tangannya.
Sambil bersandar di antara tumpukan korban, ia merasa panggilan Allah sudah begitu dekat. Terbayang wajah kedua orangtuanya yang begitu dikasihinya. Teringat akan masa kecilnya bersama-sama saudaranya. Berlari-larian bersama teman sepermainannya.
Berganti bayangan wajah Rasulullah yang begitu dihormati, dijunjung dan dikaguminya. Hingga akhirnya bayangan rupawan istrinya. Istrinya yang baru dinikahinya pagi tadi. Senyum yang begitu manis menyertainya tatkala ia berpamitan. Wajah cantik itu demikian sejuk memandangnya sambil mendoakannya. Detik demi detik, syahadat pun terucapkan dari bibir Zulebid. Perlahan-lahan matanya mulai memejam, senyum menghiasinya … Zulebid pergi menghadap Ilahi, gugur sebagai syuhada.
Rasulullah dan para sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur dalam perang. Di antara para mujahid tersebut terdapatlah tubuh Zulebid yang tengah bersandar di tumpukan mayat musuh.
Akhirnya dikuburkanlah jenazah zulebid di suatu tempat. Berdampingan dengan para syuhada lain.
Tanpa dimandikan …
Tanpa dikafankan …
Tanah terakhir ditutupkan ke atas makam Zulebid.
Rasulullah terpekur di samping pusara tersebut.
Para sahabat terdiam membisu.
Sejenak kemudian terdengar suara Rasulullah seperti menahan isak tangis. Air mata berlinang di dari pelupuk mata beliau
Lalu beberapa waktu kemudian beliau seolah-olah menengadah ke atas sambil tersenyum.
Wajah beliau berubah menjadi cerah. Belum hilang keheranan shahabat, tiba-tiba Rasulullah menolehkan pandangannya ke samping seraya menutupkan tangan menghalangi arah pandangan mata beliau.
Akhirnya keadaan kembali seperti semula ..
Para shahabat lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, mengapa di pusara Zulebid engkau menangis?”
Jawab Rasul, “Aku menangis karena mengingat Zulebid. Oo ..
-Zulebid, pagi tadi engaku datang kepadaku minta restuku untuk menikah dan engkau pun menikah hari ini juga. Ini hari bahagia.Seharusnya saat ini Engkau sedang menantikan malam Zafaf, malam yang ditunggu oleh para pengantin.”
“Lalu mengapa kemudian Engkau menengadah dan tersenyum?” Tanya sahabat lagi.
” Aku menengadah karena kulihat beberapa bidadari turun dari langit dan udara menjadi wangi semerbak dan aku tersenyum karena mereka datang hendak menjemput Zulebid,” Jawab Rasulullah.
“Dan lalu mengapa kemudian Engkau memalingkan pandangannya dan menoleh ke samping?” Tanya mereka lagi.
“Aku mengalihkan pandangan menghindar karena sebelumnya kulihat, saking banyaknya bidadari yang menjemput Zulebid, beberapa diantaranya berebut memegangi tangan dan kaki Zulebid. Hingga dari salah satu gaun dari bidadari tersebut ada yang sedikit tersingkap betisnya.”
Di rumah, istri Zulebid menanti sang suami yang tak kunjung kembali. Ketika terdengar kabar suaminya telah menghadap sang ilahi Rabbi, Pencipta segala Maha Karya.
Malam menjelang …
Terlelap ia, sejenak berada dalam keadaan setengah mimpi dan dan nyata ..
Lamat-lamat ia seperti melihat Zulebid datang dari kejauhan .. Tersenyum, namun wajahnya menyiratkan kesedihan pula ..
Terdengar Zulebid berkata, “Istriku, aku baik-baik saja. Aku menunggumu disini. Engkaulah bidadari sejatiku. Semua bidadari disini pabila aku menyebut namamu akan menggumamkan cemburu padamu…. Dan kan kubiarkan engkau yang tercantik di hatiku.”
Istri Zulebid, terdiam.
Matanya basah …
Ada sesuatu yang menggenang disana ..
Seperti tak lepas ia mengingat acara pernikahan tadi pagi ..
Dan bayangan suaminya yang baru saja hadir ..
Ia menggerakkan bibirnya ..
“Suamiku, aku mencintaimu …
Dan dengan semua ketentuan Allah ini bagi kita ..
Aku ikhlas …..”
Dan,..
Akan kemanakah kumbang terbang ..
Pada siapa rindu mendendam ..
Kekasih yang terkasih ..
Pencinta dan yang dicinta ..
Semua berurai air mata ..
Sedih, ataukah bahagia …..?
Wallahu a'lam bishshawab......
http://inmotivasi.blogspot.co.id/2013/07/pengantin-bidadari-kisah-cinta-seorang.html
Kisah Cinta Romantis Ali dan Fatimah
By Ali al-Amsori at 09.39.00
No comments
Posted By Phen Efendi
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn 'Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka'bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu
"Allah mengujiku rupanya", begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti 'Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara 'Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; 'Utsman, 'Abdurrahman ibn 'Auf, Thalhah, Zubair, Sa'd ibn Abi Waqqash, Mush'ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti 'Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, 'Abdullah ibn Mas'ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan 'Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
'Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. "Inilah persaudaraan dan cinta", gumam 'Ali.
"Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku."
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
'Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. 'Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah 'Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya 'Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, 'Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, "Aku datang bersama Abu Bakar dan 'Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan 'Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan 'Umar.."
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana 'Umar melakukannya. 'Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
'Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka'bah. "Wahai Quraisy", katanya. "Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang 'Umar di balik bukit ini!" 'Umar adalah lelaki pemberani. 'Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. 'Umar jauh lebih layak. Dan 'Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilakan
Yang ini pengorbanan
Maka 'Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran 'Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti 'Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi'kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibn 'Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa'd ibn Mu'adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn 'Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
"Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?", kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. "Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. "
"Aku?", tanyanya tak yakin.
"Ya. Engkau wahai saudaraku!"
"Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?"
"Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!"
'Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
"Engkau pemuda sejati wahai 'Ali!", begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, "Ahlan wa sahlan!" Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
"Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?"
"Entahlah.."
"Apa maksudmu?"
"Menurut kalian apakah 'Ahlan wa Sahlan' berarti sebuah jawaban!"
"Dasar tolol! Tolol!", kata mereka,
"Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !"
Dan 'Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, 'Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
'Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, "Laa fatan illa 'Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!" Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti 'Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada 'Ali, "Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda"
'Ali terkejut dan berkata, "kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?"
Sambil tersenyum Fathimah berkata, "Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu" ini merupakan sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut."
Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
"Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak." (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
http://inmotivasi.blogspot.co.id/2013/04/kisah-cinta-romantis-ali-dan-fatimah.html