MAKALAH
UNDANG-UNDANG
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
(Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih Indonesia)
Dosen
Pembimbing: Bapak Husnul Khitam, Lc., M.H.
Oleh:
1.
Ali Mutohar (16350039)
2.
A. Akhil Adib (16350040)
3.
Muhammad Ichsan (16350043)
4.
Arum Al Fakih (16350044)
AL
AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan
perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan, yaitu Peraturan tentang
Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan
Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610), Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan
Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639), dan Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’ah di Luar Jawa
dan Madura.
Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan
perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Dalam perkembangannya undang-undang ini mengalami beberapa kali sebagai
akibat adanya perubahan atau Amandeman Undang-Undang Dasar 1945 dan
undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah sebanyak
dua kali, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan
tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan
Peradilan Agama.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah untuk pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian Peradilan dan Peradilan Agama
2.
Bagaimana Sejarah Perundang-undang Peradilan Agama
3.
Bagaimana materi Perundang-undangan Peradilan Agama
4.
Apa saja perubahan yang terjadi akibat lahirnya Perundang-undangan
Peradilan Agama
C.
Tujuan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian Peradilan dan Peradilan Agama
2.
memahami Sejarah Perundang-undang Peradilan Agama
3.
untuk mengetahui materi Perundang-undangan Peradilan Agama
4.
memahami perubahan yang terjadi akibat lahirnya Perundang-undangan
Peradilan Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Peradilan dan Peradilan Agama
Dalam
pengkajian tentang Peradilan Agama di Indonesia dan peradilan
pada umumnya, terdapat berbagai kata atau istilah khusus, di antaranya peradilan, badan
kehakiman, badan peradilan, dan pengadilan. Istilah-istilah itu dapat
ditemukan dalam berbagai sumber, baik di dalam kamus dan ensiklopedi maupun di
dalam karya ilmiah serta di dalam peraturan perundang-undangan. Keempat istilah
itu biasanya dikemukakan dalam pengertian yang berbeda, tetapi kadang-kadang
dikemukakan dalam pengertian yang sama.[1]
Dari keempat istilah tersebut akan dibahas pengertian peradilannya saja .
Peradilan di dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah “segala sesuatu mengenai perkara
pengadilan”.[2]
Dalam bahasa Arab peradilan biasa disebut Qadha’ yang
berarti menyelesaikan, menunaikan, dan bermakna memutuskan
hukum atau membuat sesuatu ketetapan. Sedangkan hukum pada asalnya
bermakna menghalangi atau mencegah.[3] Dengan
definisi yang tersebut ini nyatalah bahwa,
tugas-tugas qadha’ (Lembaga Peradilan) ialah menampakkan hukum agama,
bukan menetapkan sesuatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi
oleh hakim (telah ditetapkan oleh Allah Swt).
Dari
defenisi di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa peradilan adalah
kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama hukum
demi tegaknya hukum dan keadilan.
Sedangkan pengertian Peradilan Agama dapat di temukan dalam
beberapa sumber. Peradilan Agama di dalam pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.[4] Di dalam
Ensiklopedi Islam hanya ditemukan istilah “peradilan agama”,yang
dirumuskan sebagai sebuah lembaga negara dalam struktur pemerintah Republik
Indonesia yang pengaturannya di bawah lingkup Departemen Agama dan bertugas di
bidang kekuasaan kehakiman Islam.[5]
Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di
Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili
perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini,
Peradilan Agama hanya berwenang dibidang keperdataan saja, tidak pidana dan
juga hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia.[6]
B.
Sejarah Undang Undang Peradilan Agama
Setelah Republik
Indonesia merdeka peradilan agama mulai menempati posisi baru yakni berada di
serambi Indonesia sebagai negara merdeka. Namun pada awal kemerdekaan status
dan kedudukannya tidak mengalami perubahan, seiring dengan tidak banyak berubahnya
tatanan hukum meskipun tatanan pemerintahan sudah mengalami banyak perubahan.
Sehingga pada
awal tahun 1946, tepatnya 3 Januari 1946 dibentuklah Kementrian Agama. Departemen
agama dimungkinkan melakukan konsolidasi atas seluruh administrasi
lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional. Berlakunya
Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk
mempersatukan administrasi nikah, talak, dan rujuk di seluruh Indonesia dibawah
pengawasan Departemen Agama sendiri.
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 sendiri pada awalnya hanya berlaku bagi Jawa dan Madura
saja. Namun demikian baru tahun 1954 pihak Departemen Agama berhasil memperoleh
persetujuan Parleman untuk memberlakuaknnya disemua daerah luar Jawa dan
Madura.
Selang tiga
bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui Keputusan Pemerintah
Nomor1/SD, Pemerintah mengeluarkan penetapan No. 5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang
memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tingggi dari Departemen
Kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak saat itu peradilan agama menjadi
bagian penting dari Departemen Agama.[7]
Setelah
Pengadilan Agama diserahkan pada Departemen Agama masih ada sementara pihak
tertentu yang berusaha menghapuskan keberadaan Pengadilan Agama. Usaha pertama
dilakuakn melalui UU Nomor 19 Tahun 1948. Usaha kedua melalui Undang Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Sususnan Kekuasaan Peradilan Sipil.
Penempatan pengadilan
agama di lingkungan Departemen Agama merupakan langkah yang menguntungkan dan
aman karena meskipun Indonesia telah merdeka, upaya untuk penghapusan
pengadilan agama masih dilakukan. Hal ini terbukti dengan lahirnya UU Nomor 19
Tahun 1948 yang menyatakan Peradilan Agama akan dimasukkan secara istimewa dalam
susunan Peradilan Umum, yakni perkara perdata antara orang Islam yang menurut
hukum yang hidup harus diputus menurut hukum agama Islam, harus diperiksa dan
diputus oleh badan Peradilam Umum, dalam semua tingkat peradilan terdiri dari
seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang ahli agama Islam
sebagai anggotanya yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan
persetujuan Menteri Kehakiman.
Undang-Undang
Darurat No. 1 tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 14 Januari 1951 yang
bernama Undang-Undang Darurat tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara yang menyatakan Pengadilan Agama dihapus
selanjutnya di atur dengan Peraturan Pemmerintah. Tahun 1957 berlaku Peraturan
Pemerintah Nomor 45, Lembaran Negara 1957 Nomor 99 tentang Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura. Setelah diberlakukannya PP ini maka
di Indonesia ada tiga macam peraturan tentang susunan dan kekuasaan peradilan
agama, yaitu[8]:
a)
Stb. No. 152 jo. 153 tahun 1882 jo. Stb. No. 116 & 610 tahun 1937, untuk Jawa dan Madura
b)
Stb. No. 638 & 639 tahun 1937, untuk Kalimantan Selatan
c)
P.P. No. 45 tahun 1957, untuk daerah selain Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan.
Setelah keluar PP tersebut muncul beberapa pertauran yang mengatur
yuridiksi bagi peradilan agama:
1.
Penetapan Menteri Agama No. 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sumatera.
2.
Penetapan Menteri Agama No. 4 Tahun 1958 Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di Kalimantan.
3.
Penetapan Menteri Agama No. 5 Tahun 1958 Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sulawesu, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya.
Pada tahun 1970 pemerintah lebih mempertegas keberadaan pengadilan
agama dengan dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Seluruh badan peradilan disejajarkan posisinya
secara hukum dan berinduk kepada mahkamah agung. Dengan adanya UU ini badan
peradilan posisinya sama, namun masih jauh dari yang diharapkan. Terutama
menyangkut independensi masing masing lembaga peradilan mengingat masih kuatnya
intervensi kekuasaan lain, yakni eksekutif terhadap lembaga peradilan.
Dalam kenyataannya peradilan agama masih memerlukan pengakuan dan
pengesahan dari pengadillan negeri bahkan pengadilan negeri dapat meninjau
keputusan pengadilan agama tersebut.
Pada sisi lain, tahun 1980 lahir Keputusan Menteri Agama No.6 Tahun
1980 tentang Penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama.
Kerapatan Qadhi Besar dan Mahkamah Syar’iyah berubah menjadi Pengadilan Tinggi
Agama dibawah Mahkamah Agung yang
mengawasi penyelenggaraan peradilan di Indonesia.
Untuk memperbaiki kekurangan peradilan agama dan untuk menegakkan hukum
Islam yanyg berlaku secara yuridis formal padatanggal 8 Desember 1988 Presiden
RI menyampaikan RUU Peradilan Agama kepada DPR untuk dibicarakan dna disetujui
menjadi undang-undang menggantikan semua peraturan yang tidak sesuai dengan UUD
1945 dan UU No. 14 Tahun 1970.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, pada tanggal 29
Desember 1989 RUU Peradilan Agama tersebut disahkan menjadi undang-undang.
Undang-undang ini kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dengan UU ini maka semakin mantaplah kedudukan
peradilan agama sebagai satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri
dalam rangka mengakkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah
menjadi hukum positif.[9]
C.
Tinjauan Terhadap UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Pada tatanan hukum materiiil secara jelas terdapat perkembangan
yang cukup signifikan dalam rangka menggantikan sistem hukum kolonial menjadi
hukum nasional. Sebagai contoh dapat kita ambil bahwa dengan diundangkannya UU
Nomor 1 Tahun 1974 maka sepanjang mengenal perkawinan yangy tesapat dalam Buku
I Undang-Undang Hukum Perdata tentang
orang (van personen recht) dinyatakan tidak berlaku.
Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman , peradilan agama telah mendapatkan pengakuan sebagai salah
satu dari empat lingkungan peradilan. Karena itulah maka peradilan agama akan
lebih mantap dalam menjalankan fungsinya .
Pada ketentuan pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
agama disebutkan bahwa peradilan agama
merupakansalah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yayng diatur dalam undang
undang ini.
Adapun mengenai kompetensi absolut dari peradilan agama ada di pasal 49, yakni sebagai berikut[10]:
1)
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a.
perkawinan;
b.
kewarisan, wasiat, dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c.
wakaf dan shadaqah.
2)
Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
3)
Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut.
Khusus mengenai sengketa hak milik atau keperdataan lain
berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 harus diputus
lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Di bawah ini diuraikan tentang hukum acara menurut peradilan dalam
islam dan hukum acara perdata menurut pasal 54 UU No. 7 tahun 1989.[11]
Asas-asas hukum peradilan islam
secara singkat yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang pradilan
Agama. Dalam proses beperkara menurut Syariah:
1.
Setiap orang yang cakap bertindak dapat berperkara di pengadilan
secara langsung atau dengan perantara wakilnya
2.
Pengugat dan penggugat harus hadir serta di dengar keterangannya
masing-masing
3.
Pemanggilan pihak-pihak yang beperkara harus dilakukan dengan patut
4.
Perlakuan yang sama terhadap pihak-pihak yang beperkara
5.
Di usahakan para pihak yang bersengketa menyelesaikan perkara
mereka secara damai
6.
Peradilan diselenggarakan secara terbuka, kecuali mengenai yang
menyangkut kehormatan dan masalah keluarga.
D.
Perubahan Akibat Lahirnya Undang-Undangan Peradilan Agama
Secara umum isi UU Nomor 7 Tahun 1989 memuat
beberapa perubahan tentang penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia, yaitu:
1.
Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia.
2.
Perubahan tentang kedudukan penyelenggaraan peradilan agama dalam tata peradilan nasional.
3.
Perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama.
4.
Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan.
5.
Perubahan tentang hukum acara peradilan
agama.
6.
Perubahan tentang administrasi peradilan agama.
7.
Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.
Perubahan
pertama tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan. Sebelum UU Nomor 7 Tahun 1989 berlaku, dasar
penyelenggaraan peradilan beraneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintahan
kolonial Belanda, dan sebagian produk Republik Indonesia. Dasar hukum ini
meliputi beberapa peraturan perundangan-undangan, yaitu:
1.
Peraturan
tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatblad Tahun 1882 Nomor 152 dan
Staatvlad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610).
2.
Peraturan
tentang Kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi besar untuk sebagian Residensi
Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad, Tahun 1937 Nomor 638 dan 639).
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan
Agama/ Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura ( Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 99).
4. Ketentuan Sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan (Lembaran-lembaran 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3019)
Sejak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 semau perundang-undangan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian, maka penyelenggaraan Peradilan Agama didasarkan pada peraturan yang
sama atau seragam.
Perubahan kedua tentang kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU Nomor7 Tahun
1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal itu
tercermin dengan adanya pranata pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama sejajar dengan Pengadilan dalam lingkungan peradilan
lainnya, khususnya
den gan pengadilan dalam lingku ngan Peradilan
Umum. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, sebagaimana diatur dalam pasal 63 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan
dicabut. Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk
melaksanakan keputusannya sendiri yang dilaksanakan oleh juru
sita. Kejurusitaan merupakan pranata baru di dalam susunan organisasi
Pengadilan Agama.
Perubahan
ketiga tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim dan
diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara atas usul menteri
agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku dalam
lingkungan Peradilan Umum dan dalam lingkungan Peradilan Tata Usahan Negara. Dalam menjalankan
tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan, terlepas
dari pengaru
h pemeri ntah dan pengaruh pihak lainnya .
Perubahan keempat tentang wewanang pengadilan. Menurut pasal 49 ayat (1),
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam
c. Wakaf dan
d. Shodaqoh
Hal ini menunjukkan wewenang pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama di Jawa dan Maduradikembalikan sebagaimana
wewenang yang berlaku sebelum tahun 1937. Dengan kata lain, wewenang pengadilan
tersebut “lebih luas” dibandingkan dengan masa sebelumnya. (1937-1989).
Sedangkan wewemamg Pengadilan Agama yang lainnya tidak mengalami perubahan.
Namun demikian, menurut PP Nomor 45 Tahun 1957 wewenag tersebut (selain
perselisihan antara suami istri) berhubungan dengan “hukum yang hidup” diputus
menurut hukum Islam. Kini, pengganti “hukum yang hidup” itu adalah hukum yang sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan
umum UU tersebut.
Perubahan kelima tentang hukum
acara. Menurut ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
pegadilan dalam lingkungan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undng-undang ini. Hal ini menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku adalah
hukum tertulis, disampung adanya pengecualian dan kekhususan yang diatur dalam
UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi prosedur cerai talak, gugat cerai, cerai
dengan alasan zina, dan biaya perkara. Sebelum berlakunya UU tersebut, hukum
acara yang berlaku paada pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama tersebar dalam berbagai sumber,
baik tertulis maupun tidak tertulis.[12]
Ketentuan hukum acara yang
berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas sejak disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Huku m acara yang dimaksud
dalam ketentuan Bab IV terdiri atas 37 pasal. Meskipun tidak semua ketentuan tentang Hukum Acara Peradilan Agarna yang muat dalam Undang-undang ini , tetapi hal tersebut dapat dilihat dalan1pasal 54 yang menjelaskan bahwa, "Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang
-undang ini."Oleh
karena itu, disamping Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR dan RB.g, terdapat pula beberapa
pasal atau ketentuan
lainnya yang berisi Hukum Acra Perdata berupa pasal-pasal, seperti yang tercantum dalam Bab IV tersebut.[13]
Perubahan keenam tentang penyelenggaaan administrasi pengadilan. Di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama terdapat dua jenis
administrasi, yaitu administrasi peradilan dan administrasi umum. Jenis pertama
berkenaan dengan administrasi perkara dan teknis yudisaila, sedangkan yang
kedua berkenaan dengan dengan administrasi kepegawaian, keuangan dan umum. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua jenis jabatan. Pengelola dua
administrasi ini adalah Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Secara khusus khusus, administrasi peradilan
dikelola oleh wakil panitera, sedangkan administrasi umum dikelola oleh Wakil Sekretaris. Sebelum
berlakunya UU tersebut administrasi
pada pengadilan bercorak
tunggal , dan diikelola oleh Panitera Kepala.
Perubahan ketujuh tentang perlindungan
terhadap wanita. Menurut Penjelasan Umum UU itu,
“untuk melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukurn yang meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke pengadilan yang daerah hukurnnya meliputi
tempat kediaman penggugat". Dalam ketentuan sebelurnnya digunakan
Pasal 20 ayat (1) PP Non1or 9 Tahun 1975, yaitu “gugatan perceraian
diajukan oleh suami atau istri atau kuasaya kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat". Ketentuan itu tidak berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; dan tidak
pula dihapuskan . Ia masih tetap berlaku pada Pengadilan dalam Iingkungan Peradilan Umurn.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peradilan
adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas nama
hukum demi tegaknya hukum dan keadilan. Sedangkan pengertian Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
Sejarah
panjang dalam pembentukan UU Peradialan dimulai ketika Indonesia merdeka hingga
tahun 1989 dengan penetapan UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama hingga
muncul UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU Nomor 1989.
Secara umum isi UU
Nomor 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan Peradilan
Agama di Indonesia, yaitu:
1.
Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia.
2.
Perubahan tentang kedudukan
penyelenggaraan peradilan
agama dalam tata peradilan nasional.
3.
Perubahan tentang kedudukan hakim peradilan agama.
4.
Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan.
5.
Perubahan tentang hukum acara peradilan
agama.
6.
Perubahan tentang administrasi peradilan agama.
7. Perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori,
Abdul Ghofur. 2007. Peradilan Agama
di Indonesia. Yogyakarta:UII Press
Aripin,
Jaenal. 2013. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta:Kencana.
Ash
Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Cet. I. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Bahasa, Pusat. 2008.
Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Bisri, Cik
Hasan. 2000. Peradilan Agama di Indonesia. Cet. III. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Mubarok,
2006, Memahami Lembaga Peradilan Agama, Yogyakarta: Makalah pada Acara
Pemahaman UU Pengadilan Agama Departemen Hukum dan HAM RI, tanggal 7 September
2006.
Qolbi, Hukum Acara
Perdata dalam Peradilan Islam dan Ketentuan Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 http://qolbifsh.blogspot.co.id/2012/04/hukum-acara-perdata-dalam-peradilan.html diakses pada Sabtu, 21 April 2018 pukul 6:36 WIB.
Rasyid, Roihan
A. 2003. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. X. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Rosadi,
Ade. 2015. Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum. Bandung: Simbiosa Pratama Media.
UU Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
[1] Cik. Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,(Cet.
III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 1.
[2] Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), hlm. 12
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara
Islam,(Cet. I; Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 33.
[6] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Cet. X;
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 5.
[7] Mubarok, 2006,
Memahami Lembaga Peradilan Agama, Yogyakarta: Makalah pada Acara
Pemahaman UU Pengadilan Agama Departemen Hukum dan HAM RI, tanggal 7 September
2006.
[8] Jaenal Aripin,
Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2013),
hlm. 65
[9] Ibid., hlm. 67-68.
[10] Abdul Ghofur
Anshori, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:UII Press, 2007),
hlm. 48
[11] Qolbi, Hukum
Acara Perdata dalam Peradilan Islam dan Ketentuan Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun
1989 http://qolbifsh.blogspot.co.id/2012/04/hukum-acara-perdata-dalam-peradilan.html diakses pada Sabtu, 21 April 2018 pukul 6:36
WIB.
[13] Ade Rosadi, Peradilan
Agama di Indonesia Dinamika
Pembentukan Hukum, ( Bandung: Simbiosa Prata ma Media,
2015), hlm. 65
[14] Cik. Hasan Bisri, op. cit., hlm. 125.