PENGERTIAN PERJANJIAN DAN MACAM-MACAM PERJANJIAN DALAM
HUKUM ADAT
DISUSUN OLEH :
1.
SETIA AMRODIN (16350035)
2.
SITI KHODIJAH (16350036)
3.
LAELA RIF’ATUZZULFA (16350037)
4.
ALI
MUTOHAR (16350039)
5.
A. AKHIL ADIB (16350040)
6.
ULUMUDIN KAMIL (16350041)
7.
MUHAMMAD ICHSAN (16350043)
DOSEN PENGAMPU :
Drs. Abd. Halim, M.Hum
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Dialah
Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul
pilihan-Nya, Muhammad SAW. Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang
dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
Agama yang disampaikan oleh Allah
kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW. itu kini telah berusia hampir lima belas abad
lamanya, dan kian hari terasa semakin dibutuhkan oleh ummat manusia yang
mendambakan kehidupan yang tertib, aman dan damai.
Namun bersamaan dengan itu pada
setiap pundak kaum Muslim terdapat tugas suci untuk meyampaikan risalah
Rasulullah SAW. itu kepada generasi berikunya hingga akhir zaman. Penyampaian
risalah tersebut dapat dilakukan melalui lisan, tulisan, perbuatan, dan
sebagainya .
Makalah yang kini berada ditangan
pembaca yang budiman ini ditulis selain dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
juga sebagai media agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang hukum adat yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi,
dan referensi. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan
yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari dosen,
teman, juga orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat
teratasi.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para
mahasiswa Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga. Saya sadar bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannyademi
perbaikan pembuatan makalah penulis di masa yang akan dating dan mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca.
Yogyakarta, 24 Mei 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
dikenal dengan luasnya pulau yang dia miliki, dan masyarakat multikulturnya
yang saling menjaga toleransi antar suku, ras, dan agama. Masyarakat adalah
komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-menurun di atas satu
wilayah adat, yang memiliki hak atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial
budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola
keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Keunikan
Indonesia inilah yang membawa masyarakat di berbagai daerah memiliki kebudayaan
dan aturan tersendiri dalam kehidupannya, sehingga ada peraturan-peraturan yang
dimiliki suku yang mana peraturan tersebut mungkin tidak dimiliki oleh suku
yang lain juga. Seperti halnya perjanjian dalam hukum adat, mungkin ada
perbedaan antara suku satu dengan yang lainya dalam perjanjian adat.
Dalam
makalah ini, kami akan membahas mengenai pengertian perjanjian dan macam-macam
perjanjian dalam hukum adat, Maka semoga makalah ini membantu mengantarkan
pembaca untuk memahami tentang pengertian perjanjian dan macam-macam perjanjian
dalam hukum adat yang ada di Indonesia sekarang ini. Semoga makalah ini bisa
membuka pemikiran pembaca untuk sedikit memahaminya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat ditarik kesimpulan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu perjanjian?
2. Bagaimana macam-macam perjanjian dalam
hukum adat?
C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian perjanjian.
2. Untuk mengetahui berapa macam perjanjian
dan memahaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM PERJANJIAN DALAM HUKUM ADAT
A. Pengertian Perjanjian
Defenisi
perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “persetujuan tertulis atau
dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan
menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.[1]
Menurut kitab
Undang Undang Hukum Perdata pasal 1313 berbunyi : “suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”.[2]
Ketetapan
menurut pasal ini sebenernya kurang memuaskan, karena masih terdapat
kelemahan-kelemahan di dalamnya. Di bawah ini adalah kelemahan-kelemahan yang
dapat diuraikan dari pasal 1331 KUH Perdata, yaitu:
a.
Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari kalimat “satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
b.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c.
Defini perjanjian terlalu luas
d.
Tanpa menyebut tujuan
e.
Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
f.
Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti
disebutkan di bawah ini:
1.
Syarat ada persetujuan kehendak
2.
Syarat kecakapan pihak-pihak
3.
Ada hal tertentu
4.
Ada kuasa yang halal.[3]
Menurut Subekti
(2005:1) bahwa, suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa di mana seorang
berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara
orang tersebut yang di namakan perikatan.
Pengertian
perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih,
yakni pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dan pihak lainnya wajib
memenuhi sesuatu hal tersebut.[4]
Dengan
demikian, diketahui bahwa perjanjian itu memunculkan perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan seseorang baik
diucapakan maupun ditulis.
Suatu perjanjian merupakan juga sebuah
persetujuan. Karena di dalamnya terdapat unsur saling setuju satu dengan yang
lainnya, atau keduanya telah setuju dengan perkataan atau tulisan yang telah
mereka sepakati bersama. . Berdasarkan hal tersebut dapat diuraikan bahwa
unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut:
a.
Adanya pihak-pihak yang sekurangnya dua orang
b.
Adanya persetujun atau kata sepakat
c.
Adanya tujuan yang ingin dicapai
d.
Adanya prestasi atas kewajiban yang akan dilaksanakan
e.
Adanya bentuk tertentu
f.
Adanya syarat-syarat tertentu.[5]
Adapun
perjanjian menurut hukum adat adalah perjanjian di mana pemilik rumah
memberikan izin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat
kediaman dengan pembayaran sewa di belakang (atau juga dapat terjadi pembayaran
dimuka).[6]
Hukum
perjanjian pada dasarnya mencakup hutang piutang. Dengan adanya perjanjian,
maka satu pihak berhak untuk menuntut suatu hal dan pihak lainnya wajib
memenuhi suatu hal tersebut. Suatu hal di sini adalah mungkin berbentuk benda,
atau tidak melakukan suatu perbuatan.[7]
B. Macam-macam Perjanjian dalam
Hukum Adat
1.
Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian
meminjamkan uang dengan atau tanpa bunga, atau barang-barang tertentu yang
harus dikembalikan sesuai dengan nilainya masing-masing pada saat yang telah
disepakati. Hasil penelitian lapangan di Lampung dan Sumatera Selatan
menyatakan bahwa peminjaman yang dikenakan bunga telah lazim terjadi, apabila
yang meminjam uang itu adalah orang luar, artinya yang tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan pihak yang meminjamkan uang itu. Jadi ada perbedaan disana
ketika yang meminjam adalah pihak di luar dari kekerabatan seorang yang
meminjamkan dengan orang yang mempunyai kekerabatan dengan orang yang
meminjamkan dalam masalah ada atau tidaknya suatu bunga peminjaman. Adanya
bunga atau jaminan terhadap pinjaman uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh dari
kebiasaan-kebiasaan di kota dari para pendatang.[8]
Perjanjian kredit ini mempunyai banyak kemiripan dengan transaksi
pada masyarakat luas, artinya hal ini umum terjadi di kalangan masyarakat.
Demikian pula dengan pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjam tersebut
merupakan suatu hal yang sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus
dikembalikan dengan barang sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan
nilai barang yang dipinjamkan.
2. Perjanjian Kempitan
Perjanjian kempitan adalah sebuah perjanjian
dalam hukum adat yang merupakan suatu bentuk perjanjian dimana seseorang
menitipkan sejumlah barang kepada pihak lain dengan janji bahwa kelak akan
dikembalikan dalam bentuk uang atau barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada umumnya menyangkut
hasil bumi dan barang-barang dagangan. [9]
Di dalam perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi, yaitu antara lain :
a.
Harus ada musyawarah lebih dulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
b.
Diadakan batas waktu pengembalian barang dan kalau barang tersebut
tidak diambil, maka barang tersebut dijual atas dasar mufakat.
c.
Dalam surat perjanjian itu ditentukan jumlah harga pengembalian
barang tersebut.
d.
Apabila barang yang dititipkan itu hilang, maka harus ada
penggantian dan apabila barang itu telah dijual orang yang dititipi barang
tersebut harus diberi upah untuk jerih payahnya.
Dengan demikian, dalam perjanjian kempitan terdapat kecenderungan
bahwa barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh
pemilik barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para pihak
harus saling percaya.[10]
3. Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual hasil
tanamannya sesudah tanaman itu berbuah dan sebentar lagi akan dipetik hasilnya.
Perjanjian tebasan ini lazim terjadi pada padi atau tanaman buah-buahan yang
sudah tua dan sedang berada di sawah ataupun di kebun. Di daerah-daerah
tertentu (misalnya beberapa daerah Sumatera Selatan) perjanjian tebasan
merupakan perjanjian yang tidak lazim terjadi dan ada kecenderungan bahwa
perikatan dalam bentuk ini merupakan perjanjian yang dilarang.[11]
Perjanjian tebasan ini mirip dengan jual beli salam dimana dalam
hukum Islam dimana seseorang memesan barang yang belum tampak oleh mata seperti
halnya jual beli buah-buahan yang masih ada di pohon.
4. Perjanjian Perburuhan
Perjanjian perburuhan disini dimaksudkan
apabila ada seseorang yang mempekerjakan seseorang untuk membantunya, yang pada
prinsipnya berhak menerima upah, pada hal ini tiadak diberikan upah sama
sekali. Namun, ia
memperoleh imbalan lainnya berupa biaya hidupnya di tanggung oleh pihak yang
memperkerjakannya. Menurut Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah
orang lain dan mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan
rumah, merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur
baur dengan memberikan penumpangan kepada kepada sanak-saudara yang miskin
dengan imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang. [12]
5. Perjanjian Pemegangkan
Perjanjian pemegangkan cukup lazim dalam hukum adat, apabila ada
seseorang yang meminjam uang terhadap orang yang meminjamkan barang, kemudian
orang yang meminjam memberikan jaminan barang, maka orang yang meminjamkan uang
berhak menggunakan barang tersebut sampai si peminjam mengembalikan uang nya.
Tetapi apabila peminjaman tersebut di kenakan bunga, maka pihak yang meminjami
uang tersebut tidak berhak menggunakan barang tersebut. Karena pihak yang
memberikan pinjaman menerima bunga hutang tersebut.[13]
6. Perjanjian Pemeliharaan
Perjanjian ini memiliki kedudukan yang istimewa pada hukum kekayaan
harta adat. Dimana, pihak pemelihara bertanggung jawab atas pihak yang
dipelihara. Maksudnya, hartanya dibawah tanggungan pihak pemelihara. Terlebih
apabila usia lanjut. Pemelihara pula yang menanggung urusan pemakamannya dan
pengurusan harta peninggalannya. Sehingga, apabila si memelihara meninggal maka
harta yang dimiliki pihak yang dipelihara berhak dimiliki oleh hak pemelihara.
tidak tanggung-tanggung bagian yang dimiliki oleh pihak pemelihara sama halnya
dengan hak yang diberikan kepada kerabat atau anak yang dipelihara.
7. Perjanjian Pertanggungan Kerabat
Apakah lazim seseorang menanggung hutang orang
lain yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut?
Ter Haar pernah menulis bahwa dalam hukum adat
terdapat perjanjian dimana seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain.
Si penanggung dapat ditagih bila dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin
lagi diperoleh dari si peminjam sendiri. Menanggung hutang orang lain,
pertama-tama mungkin disebabkan karena adanya ikatan sekerabat, berhadapan
dengan orang luar. Kedua mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada
sanak saudara. Misalnya dikalangan orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki
selalu bertindak bersama-sama atau dengan penanggunagan anak beru sinina, yaitu
sanak saudaranya semenda dan kerabatnya sedarah yang seakan-akan mewakili
golongan-golongan mereka berdua yang bertanggung jawab.
Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan
kebenaran dari pemikiran yang diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera
Selatan perjanjian pertanggungan kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan.
Alasan-alasannya antara lain :
a) Menyangkut kehormatan suku.
b) Menyangkut kehormatan keluarga
batih.
c) Menyangkut kehormatan
8. Perjanjian serikat
Acapkali ada kepentingan-kepentingan tertentu
yang dipelihara oleh anggota masyarakat dalam berbagai macam kerja sama. Kerja
sama dari para anggota masyarakat untuk memenuhi kepentingan itulah yang
menimbulkan serikat, yang didalamnya muncul perikatan atau
perjanjian-perjanjian untuk memenuhi kepentingan tertentu tadi. Sebagai contoh
adalah dimana beberapa orang yang setiap bulan membayar sejumlah uang tertentu
dalam waktu yang telah ditetapkan bersama, misalnya, dalam setiap bulan.
Masing-masing mereka secara bergiliran akan menerima keseluruhan jumlah uang
yang telah dibayarkan itu dan dapat mempergunakan uang tersebut sekaligus dan
juga seluruhnya.
Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut
dengan serikat, di Minangkabau disebut dengan jula-jula, di Salayar disebut
dengan mahaqha dan di Minahasa disebut mapalus.
Tetapi perlu diingatkan bahwa mapalus di
Minahasa mengandung arti rangkap. Pertama- sebagai bentuk kerjasama yang pada
prinsipnya mengandung kegiatan tolong menolong secara timbale balik, sehingga
dapat digolongkan dalam bentuk perikatan tolong menolong yang merupakan
“wederkeng hulpbetoon”. Kedua adalah bentuk kerja sama dalam kegiatan yang
telah diuraikan di muka. Bentuk kerja sama tersebut, kini telah mengalami
perkembangan dan tidak semata-mata menyangkut uang saja, akan tetapi juga
berkaitan dengan pelbagai keperluan, seperti keperluan rumah tangga, dan lain
sebagainya. Kegiatan tersebut juga sudah meluas dalam masyarakat, dan lazim
disebut arisan.
9. Perjanjian Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik
tanah memberi ijin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan
perjanjian, bahwa yang mendapat ijin itu harus memberikan sebagian hasil
tanahnya. Ada yang dibagi menjadi dua di Jawa : maro, Minangkabau : memperduai,
Periangan : nengah, Sumatera : Perdua, Sulawesi Selatan : Tesang, Minahasa:
Toyo. Jika hasilnya dibagi menjadi tiga maka disebut pertiga, di Jawa :
mertelu, Periangan : Jejuron.[14]
Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya
adalah sebagai berikut:
1) Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (maro).
2) Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian
(mertelu).
Di Jawa dalam suatu perjanjian bagi hasil
berlaku ada kebiasaan dalam adat, bahwa permulaan transaksi dibayar srama atau
mesi. Srama adalah pemberian uang sekedarnya oleh penggarap kepada si pemilik
tanah, sedangkan mesi adalah pemberian dari penggarap yang berarti tanda
pengakuan terhadap pemilik tanah.[15]
Mengenai perjanjian bagi hasil atau
“sharecropping” ini, sebetulnya telah diatur di dalam UU No. 2 tahun 1960, :
bahwa perjanjian bagi hasil (pasal 3) dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil
harus dibuat secara tertulis di hadapan kepala desa dan disahkan oleh camat,
dan menurut pasal 4 perjanjian bagi hasil untuk sawah berlaku
sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.
Kemudian pasal 8 menyatakan dinyatakan adanya pembayaran uang atau pemberian
benda apapun kepada pemilik tanah untuk memperoleh hak mengusahakan tanah.
10. Perjanjian Ternak
Ter Haar menyatakan “ Pemilik ternak
menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk dipelihara dan membagi hasil
ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu” Di Sumatera Barat (Minangkabau)
dikenal dengan nama “paduon taranak” atau “saduoan taranak”. Mengenai hal ini,
lazimnya berlaku ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
a) Apabila hewan ternak itu betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi
antara pemilik dan pemelihara dengan besaran yang sama, atau dipatut harga
induknya, kemudian anaknya dibagi dua sama banyak, dan kelebihan harga induknya
yang dipatut itu dibagi dua pula. Kelebihan harga induk adalah dari harga waktu
penyerahan dan waktu akan membagi.
b) Jika ternak itu ternak jantan, maka sewaktu dikembalikan pada pemilik harus
ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua sama besar antar
pemilik dan pemelihara. Kalau dijual sebelum beranak maka ketentuannya adalah :
1) Jika ternak itu dipatut harganya, maka laba dibagi dua.
2) Jika ternak itu tidak dipatut
harganya, maka kepada pemelihara diberikan sekedar uang jasa selama ia memelihara ternak tersebut,
besarnya tergantung kepada pemilik ternak, sifatnya hanya sosial saja.
3) Kalau ternak itu mandul, maka
dijual, biasanya dikeluarkan juga uang rumput pemeliharaan, dan pemelihara
mempunyai hak terdahulu jika ia ingin membeli atau memeliharanya kembali.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Defenisi perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.
Menurut kitab Undang Undang Hukum Perdata pasal 1313 berbunyi :
“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Macam-macam
perjanjian dalam hukum adat yang dibahas di tulisan ini ada 10 yaitu:
(a). Perjanjian kredit, (b). perjanjian
kempitan, (c). perjanjian tebasan, (d). perjanjian perburuhan, (e). perjanjian
pemegangkan, (f). perjanjian pemeliharaan, (g). perjanjian pertanggungan
kerabat, (h). perjanjian serikat, (i). perjanjian bagi hasil, dan (j). perjanjian
ternak
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusumo,
Hilman. Hukum Perjanjian Adat. (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1990).
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Mandar Maju, 2003).
Warjiyati. Sri. Memahami Hukum Adat. (Fakultas
syariah IAIN Surabaya, 2006).
Wignjodipoero. Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. (Jakarta: PT
Toko Gunung Agung. 1995).
Wulansari. Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. (Bandung: PT
Refika Aditama. 2010).
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003).
Sudarsono,
Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009).
Subekti,
R, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2005).
Hapsari,
Dwi Ratna indri “Kontrak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam (Suatu Kajian dalam
Perspektif Asas-Asas Hukum)”, dalam Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 1
Januari-Juni 2014.
Ragawino, Bewa. Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia.( Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran)
Hutabarat,
Samuel M.P.. Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum perjanjian. ( Jakarta: Sinar Grafinda, 2009).
Sabtu 21 Mei 2017.
https://gemaisgery.blogspot.co.id/2010/06/pengertian-perikatan.html?m=l, diakses pada Sabtu
21 Mei 2017.
https://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/, diakses pada Sabtu 21
Mei 2017.
https://referensiuntukmu.blogspot.co.id/2016/05/hukum-adat.html?m=l.WSEMWnQxXqA, diakses pada 21
Mei 2017.
http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.html diakses Minggu, 22 Meil 2017.
http://Ueu5639.weblog.esaunggul.ac.idmateri-09-HUKUM-PERIKATAN-ADAT. Diakses
pada minggu tanggal 22 Mei 2017
jam 18.00.
Isfciputat.blogspot.co.id/2014/02/hukum-perjanjian-adat_9288.html?m=1. Diakses pada minggu
tanggal 22 Mei 2017 jam 19.30
[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), hlm. 458
[2] Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hlm.
355.
[3] https://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul 09:50 WIB.
[4] https://gemaisgery.blogspot.co.id/2010/06/pengertian-perikatan.html?m=l,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul 10:05 WIB.
[5]Dwi Ratna Indri Hapsari, “Kontrak Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Dan Hukum Islam (Suatu Kajian dalam Perspektif Asas-Asas Hukum)”, dalam
Jurnal Repertorium, ISSN:2355-2646, Edisi 1 Januari-Juni 2014, hlm. 85.
[6] https://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul 10:15 WIB.
[7] https://referensiuntukmu.blogspot.co.id/2016/05/hukum-adat.html?m=l.WSEMWnQxXqA,
diakses pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul
10:40 WIB.
[8]
http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.html
diakses pada minggu, 22 Mei 2017, pukul 10:45 WIB.
[9] Samuel M.P. Hutabarat. S.H..M.H., Penawaran dan Penerimaan dalam
Hukum Perjanjian Hlm. 22
[11] Ibid hlm. 105
[12] http://Ueu5639.weblog.esaunggul.ac.idmateri-09-HUKUM-PERIKATAN-ADAT. Diakses pada minggu tanggal 22 Mei 2017 jam
18.00
[13]
Isfciputat.blogspot.co.id/2014/02/hukum-perjanjian-adat_9288.html?m=1. Diakses pada minggu tanggal 22 Mei 2017 jam 19.30
[14] Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat,
(Bandung : Mandar Maju, 2003) Hlm. 228
[15] Ibid. Hlm. 228
0 komentar:
Posting Komentar