ANALISIS PENAFSIRAN AYAT
TABAYYUN DALAM PENEGAKAN HUKUM
DALAM QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6
Mahasiswa AS – UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Yogyakarta
Tugas ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan Ujian
Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Tafsir Ayat Hukum
Disusun oleh :
ALI MUTOHAR
(16350039)
Dosen Pembimbing :
MANSUR, S.Ag., M.Ag.
JURUSAN
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
ANALISIS PENAFSIRAN AYAT
TABAYYUN DALAM PENEGAKAN HUKUM
DALAM QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6
Menurut penulis Tabayyun adalah mencari informasi yang
akurat terlebih dahulu sebelum memutuskan suatu perkara agar dikemudian hari
tidak timbul permasalahan baru seperti fitnah dan perasaan menyesal akan
keputusan yang telah di tetapkan.
Surah al-Hujurat (49): 6 termasuk ayat yang sangatlah
agung, karena mengandung pelajaran yang penting agar umat islam tidak
terjerumus ke lembah fitnah. Apabila dikaitkan dalam bidang hukum kata
fatabayyanu sangatlah pantas untuk digunakan sebagai pedoman dalam menentukan
hukum atau vonis. Karena dalam menentukan hukum seorang hakim harus mengetahui
secara detail masalah yang sedang diperselisihkan. Hal ini perlu dilakukan agar
jangan sampai seorang hakim menimpakan suatu bencana kepada suatu kaum yang
tidak diketahui keadaan yang sebenarnya, yang man nanti akan menimbulkan
penyesalan atas perbuatan yang terlanjur dilakukan dan berangan-angan sekiranya
hal itu tidak pernah terjadi.
Seorang hakim yang bertabayyun atau tidak di akhirat
nanti akan di tempatkan di tiga tempat sebagaimana hadis di bawah ini:
حدّثنا إسمعيل بن توبة حدثناخلف بن خليفت حدّثنا أبو هاشم
قال لولا حديث ابن بريدة عن أبيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال القضاة
ثلاثة اثنان فى االنار وواحد فى الجنّة رجل علم الحقّ فقضى به فهو في الجنة ورجل
قضى للناس على جهل فهو فى النّار ورجل جار فى الحكم فهو فى النّار لقلنا إنّالقاضي
إذا اجتهد فهو الجنّة ﴿رواه ابن المجة : ٢٣٠٦﴾[1]
Hadis di atas dapat dipahami bahwa ada tiga golongan
hakim yaitu seorang hakim yang akan
menempati surga yaitu hakim yang memutuskan perkara dengan ilmunya dan dua
hakim yang akan menempati neraka yaitu hakim yang memutuskan perkara dengan
kebodohan dan hakim yang berlaku curang dalam memutuskan perkara.
Makna hadis di
atas dengan penafsiran surah al-Hujurat ayat 6 adalah tentang mengetahui
perkara/informasi yang sebenarnya dari sebuah masalah dan memutusakan masalah
itu dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini informasi yang sebenarnya dapat
diketahui dengan bertabayyun atau crosscheck terlebih dahulu. Akan tetapi hakim
yang memutuskan perkara tanpa informasi yang benar dengan tabayyun terlebih dahulu maka neraka
tempatnya.
Seorang hakim harus bisa mengaplikasikan sikap
tabayyun ini mengingat betapa pedihnya ancaman Allah SWT melaluli sabda Nabi
Muhammad SAW bahwa seorang hakim diancam masuk neraka apabila tidak menetapkan
hukum ilmu atau dengan bertabayyun.
Perintah
tabayyun dalam penegakan hukum dapat dilakukan dengan mencari alat bukti
sebelum menjatuhkan putusan. Sebagaimana tugas seorang hakim adalah memeriksa
dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam memeriksa dan memutuskan
perkara seorang hakim diharuskan menemukan fakta atau kentutaan yang terjadi.
Dikatakan oleh kebanyakan ahli hukum bahwa “hakim perdata diharuskan menerima
kebenaran formil, sedangkan hakim pidana harus menerima kebenaran materiil.[2] Alat bukti yang dimaksud
dijelaskan dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP “Alat bukti yang sah ialah: a)
keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) petunjuk; dan e) keterangan
terdakwa.
Dalam
Hukum Acara Perdata, apabila tergugat secara tegas mengakui apa yang
dikemukakan penggugat maka hakim dapat menerima hal ini sebagai kebenaran. Berbeda
dengan Hukum Acara Pidana, walapun terdakwa mengakui melakukan pemerkosaan
misalnya, hakim tidak lansung dapat mempercayainya, namun hakim harus dapat mencari
dan menemukan kebenaran yang sebenarnya terjadi atau kebenaran riil bahwa
terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana tersebut berdasarkan alat bukti
yang ada dan memenuhi unsur-unsur pidana.
Kebenaran
yang riil itu dapat ditemukan dengan alat bukti yang sudah disebutkan diatas
sesuai ketentuan yang ada. Ketentuan mengenai alat bukti dijelaskan dalam pasal
183 KUHP yang berbunyi “hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat nukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya.
Dalam pasal ini ditentukan dua syarat untuk mejatuhkan pidana yaitu :
a.
Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
b.
Adanya keyakinan pada diri seorang hakim yang diperoleh dari alat bukti
tersebut bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana.[3] Hal ini dikarenakan bahwa
keyakinan tidak dapat digugurkan dengan suatu keraguan, sebagaimana bunyi
kaidah fikih yang berbunyi :
اليقين
لا يزال بالشك
Dengan demikian, jika sudah ada dua alat bukti yang sah, tetapi hakim
merasa tidak yakin bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka hakim
tidak akan menghukum terdakwa atau sebaliknya bahwa hakim tidak boleh menghukum
orang bersalah hanya berdasarkan keyakinannya, melainkan harus didukung oleh
minimal dua alat bukti yang sah. Karena pada dasarnya keyakinan itu diperoleh
dari alat bukti itu.
Dalam tulisan ini penulis mengambil contoh dari pengadilan Kota Solok
dengan Putusan Perkara Nomor: 38/Pid.B/2012/PN.SLK. Perkara yang disengketakan
yaitu tentang pembunuhan. Kronologinya, pada hari Senin 9 April 2012 sekitar
pukul 13.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan April 2012
bertempat di rumah Paviliun Saksi Aminah di Gurun Koto Anau, Kelurahan Tanjung
Paku, Kecamatan Tanjung Harapan, Kota Solok, terdakwa dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain yaitu terhadap korban Indra pgl In, dimana
terdakwa melakukan pembunuhan dengan cara mengambil 1 (satu) buah batu
berukuran sebesar kepala orang dewasa kemudian dipukulkan ke bagian kepala
korban Indra pgl In. Motif pembunuhan ini dikarenakan terdakwa sakit hati dan
emosi gara-gara korban Indra pgl In berulang kali menuduh terdakwa terlah
membunuh orang tua perempuan terdakwa.[4]
Dalam kasus ini hakim bertabayyun dengan mendengarkan keterangan saksi
Aminah dan keterangan terdakwa lalu ditambah dengan adanya kenyakinan hakim
bahwa terdakwa melakukan pembunuhan. Dalam hal ini syarat untuk memberi putusan
kepada terdakwa sudah terpenuhi yaitu adanya dua alat bukti dan keyakinan pada
diri seorang hakim. Apabila ingin lebih memperkuat lagi keputusannya, hakim
dapat menggunakan alat bukti berupa petunjuk setelah keterangan saksi dan
keterangan terdakwa.
Kesimpulan dari uraian diatas yaitu bahwa dalam penegakan hukum hakim harus
senantiasa bertabayyun sebelum menjatuhkan putusan. Tabayyun dalam penegakan
hukum ini dapat dilakukan dengan mencari dan menemukan alat bukti minimal
berjumalah dua alat bukti, serta hakim harus yakin dengan keputusannya dalam
menjatuhkan putusan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, L.J. van. 1978. Pengantar Ilmu Hukum, Cet-15. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Bennyanto, David. 2013. Skripsi: “Penerapan Bukti Petunjuk oleh Hakim dalam
Menjatuhkan Putusan Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus: Putusan Pengadilan
Negeri Solok”, Padang: Universitas Bung Hatta.
Harahap, M Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP,
II, Jakarta: Pustaka Kartini.
Lidwa Pustaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadis
[1]
Lidwa Pustaka i-Software – Kitab 9
Imam Hadits
[2]
L.J. van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, Cet-15, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 263.
[3]
M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHP, II, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1985), hlm.
801.
[4]
David Bennyanto, Skripsi : “Penerapan
Bukti Petunjuk oleh Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Tindak Pidana
Pembunuhan-Studi Kasus: Putusan Pengadilan Negeri Solok”, (Padang:
Universitas Bung Hatta, 2013), hlm.
NB: silahkan cantumkan sumber jika ingin menjadikan tulisan ini sebagai referensi
0 komentar:
Posting Komentar