Jumat, 20 Juli 2018
DOWNLOAD KITAB "Rowa'iul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur'an" Karya Syekh Muhammad Ali As-Shobuni
Senin, 09 Juli 2018
MAKALAH TABAYYUN DALAM PENEGAKAN HUKUM DALAM TAFSIR QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6
MAKALAH
TABAYYUN DALAM PENEGAKAN HUKUM
DALAM
TAFSIR QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6
Mahasiswa AS –
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Disusun oleh:
ALI MUTOHAR
(16350039)
Dosen
Pembimbing:
MANSUR, S.Ag., M.Ag.
JURUSAN
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2018
PEMBAHASAN
TAFSIR QUR’AN SURAH AL-HUJURAT (49): 6
A. Teks Ayat & Terjemahnya
Bunyi surah al-Hujurat (49): 6 sebagai berikut:
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
اِنْ جَاءَ كُمْ فَاسِقٌ بِنَبَاِ فَتَبَيَّنُوْا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوْا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ ﴿٦﴾
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Jika
seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah
kebenarannya, agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaumkarena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya
kamu menyesali perbuatan itu.” [Q.S. Al-Hujurat (49): 6][1]
B.
Kata Kunci Hadis atau Mufrodat
Makna surah al-Hujurat ayat 6 ini dapat
diketahui dari mufrodat-mufrodat berikut:
فاسق
|
:
|
|
بنبإ
|
:
|
Secara bahasa
an-naba’ berarti khabar (kabar
atau berita). Jama’nya yaitu abna’seperti dalam kamus. Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwasan naba’ tidak dikatakan khabar
apabila tidak berkaitan dengan hal yang penting, dan mempunyai faedah yang
besar. [4]
|
فتبيّنوا
|
:
|
Mencari
kejelasan dan pengetahuan, dapat di konfirmasi kebenarannya, yang dimaksud
disini memverifikasi berita sehingga
manusia mengerti apa yang diperintahkan. [5]
Menurut
Wahbah az-Zuhaili fatabayyanu diartikan mencari kejelasan yang nyata
dan mengetahui kebenaran dari perkara yang dusta.[6]
|
بجهالة
|
:
|
Mereka dalam
keadaan bodoh.
|
نادمين
|
:
|
Menyesal atas
terjadinya sesuatu dan berharap tidak terjadi lagi. [7]
Orang-orang yang menyesal, yakni orang-orang yang sedih berkepanjangan dan
berangan-angan bahwa hal itu tidak terjadi. Karena penyesalan adalah
kesedihan atas terjadinya sesuatu yang disertai angan-anagan sekiranya hal
itu tidak terjadi.[8]
|
C. Latar Belakang Munculnya Ayat atau Asbab an-Nuzul
Banyak ahli tafsir yang
menyebutkan bahwa latar belakang turunnya surah al-Hujurat ayat 6 ini berkenaan
dengan Utusan Rasulullah SAW bernama al-Wa’lid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith yang .
diutus Rasulullah SAW untuk mengambil zakat di Bani Musthaliq. Para ahli tafsir
tersebut diantaranya Muhammad Ali Ash-Shobuni, Abi Fida’i Ismail bin Umar bin
Katsir al-Quraisyi ad-Dimasyqi (Ibnu Katsir) dan Abu Bakar Ahmad bin Ali
ar-Razi al-Jashshosh (Imam al-Jashshosh).
Muhammad Ali ash-Shobuni
mengemukakan dua argumen mengenai latar belakang turunnya surat al-Hujurat ayat
6 dalam tafsirnya, yaitu sebagai berikut:[9]
Pertama, diriwatkan
oleh Imam Ahmad dari al-Harits bin Dlirar al-Kuza’i. Bahwa al-Harits menghadap
Rasulullah SAW, Beliau mengajaknya masuk islam, diapun berikrar menyatakan diri
masuk islam. Rasulullah mengajaknya mengeluarkan zakat, diapun menyangggupinya,
dan berkata: “Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka
masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang mengikuti ajaranku dan akan aku
kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimkan utusan untuk
mengambil zakat yang telah kukumpulkan itu!”.
Ketika al-Harits sudah
mengumpulkan zakat dari kaumnya dan waktu yang ditetapkan telah tiba, tidak ada
seorangpun utusan Rasulullah SAW yang menemuinya utuk mengambil zakat tersebut.
Diapun memanggil hartawan kaumnya dan dan berkata: “sesungguhnya Rasulullah SAW
telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang
telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya
tidak tau mengapa beliau mengguhkan utusan itu. Mungkinkan beliau marah?
Marilah kita berangkat mengahadap Rasulullah SAW.
Pada waktu yang telah
ditetapkan Rasulullah telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah untuk mengambil dan
menerima zakat yang telah al-Harits kumpulkan. Ketika al-Walid berangkat,
diperjalanan hatinya merasa tidak tenang, kemudian dia pulang sebelum sampai di
tempat tujuan. Maka al-Walid memberi laporan palsu kepada Rasulullah SAW bahwa al-Harits
tidak mau menyerahkan zakat kepadanya dan mengancam akan membunuhnya.
Mendengar laporan tersebut
Rasulullah mengirim utusan berikutnya kepada al-Harits. Di tengah perjalanan,
utusan itu berpapasan dengan al-Harits dan sahabat-sahabatnya yang tengah
menuju Madinah untuk menemui Rasulullah. Kemudian al-Harits menanyai utusan
itu: “Kepada siapa engkau di utus?, utusan itupun menjawab: “ Kami diutus
kepadamu”. “Mengapa?”, tanya al-Harits. Mereka menjawab: “sesungguhnya
Rasulullah SAW telah mengutus al-Walid bin ‘Uqbah, namun dia mengatakan bahwa
engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan engkau bermaksud membunuhnya.”
Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan
sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku.”
Sesampainya dihadapan
Rasulullah SAW, bertanyalah beliau: “Mengapa engkau menahan zakat dan akan
membunuh utusanku?”. Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus engkau
dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah surah al-Hujurat
ayat 6 sebagai peringatan kepada kaum Mukminin agar tidak menerima keterangan
dari sebelah pihak saja.
.
D. Korelasi dengan Ayat Lain atau Munasabah al-Ayat
Terdepat beberapa ayat dalam al-Quran yang membunyai
hubungan atau korelasi dengan surah al-Baqarah ayat 6 diantaranya surah
al-Isra’ ayat 36 dan lanjutan ayat tersebut yaitu surah al-Hujurat ayat 7.
Dalam makalah ini penulis mengambil surah al-Isra’ ayat
36 yang bunyinya sebagai berikut:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ قلى اِنَّ السَّمْعِ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُوْلاً ﴿۳٦﴾
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang
tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu
akan diminta pertanggung jawabannya.” [Q.S. Al-Isra’(17): 36][10]
Surah al-Isra’ ayat 36 diatas mengandung makna
yang selaras dan saling melengkapi surah al-Hujurat ayat 6. Surah al-Hujurat
ayat 6 menyebutkan keharusan bertabayyun apabila menerima suatu berita atau
informasi ataupun suatu pemahaman dan
cara berpikir terbaru.
Sedangkan al-Isra’ ayat 36 mengisyaratkan
untuk tidak mengikuti sesuatu yang belum diketahui secara jelas dan secara
tersirat pula diperintahkan untuk menindaklanjuti sesuatu yang belum diketahui
secara jelas kebenarannya hingga dapat diketahui kebenarannya. dan segala
sesuatu yang digunakan untuk menerima berita atau informasi tersebut pasti akan
di minta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.
E. Penjelasan Ayat dari Berbagai Literatur Tafsir atau Syarh al-Qur’an
Begitu banyak ulama yang mengarang kitab tafsir dan
menjelaskan dengan berbagai sudut pandang, seperti Muhammad Ali Ash-Shobuni dan
imam al-Qurthubi yang menafsirkan Al-Qur’an dari sudut pandang fiqh, kemudian Ibnu Katsir dan ar-Razi yang
menafsirkan Al-Qur’an dari sudut pandang kelimuan, dan masih banyak lagi
corak-corak penafsiran Al-Qur’an.[11]
Dalam makalah ini penulis mengambil penjelasan dari kitab
tafsir yang bercorak fiqih, seperti Muhammad Ali ash-Shobuni dan...
Muhammad Ali ash-Shobuni dalam kitab Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam Minal Qur’an Juz 2
menafsirkan surah al-Hujurat Sebagai berikut:[12]
1. Surat al-Hujurat dapat disebut juga atau termasuk surat akhlak dan adab. Diantara
keutamaan surat ini yaitu:
a. Kewajiban mempertegas ketaatan kepada Rasulullah SAW
b. Menghormati Rasulullah SAW secara maksimal dan jangan meninggikan suara
ketika ada beliau.
c. Wajib meneliti kebebaran kabar-kabar yang beredar, dan jangan berkata seperti
perkataan orang fasik
d. Larangan memberi julukan yang tidak disenangi.
e. Larangan terhadap perilaku memata-matai, seudzon, dan akhlak-akhlak yang
buruk.
2. Kata inja akum fasiqun bi nabain di surah al-Hujurat ayat 6 tersebut
mengisyaratkan kepada kaum mukmin untuk waspada terhadap segala sesuatu, tidak
menerima setiap perkataan yang dikirim kepada kita tanpa mengetahui sumbernya
secara detail. Dengan kata lain, apabila datang berita dari orang fasik maka bertabayyun atau meng-crosscheck
kebenaran berita yang dia bawa.
Didalam tafsirnya Muhammad Ali Ash-Shobuni juga
menjelaskan hukum-hukum syariah yang dapat diambil dari penafsiran surah
al-Hujurat ayat 6 tersebut, diantaranya sebagai berikut
1.
Apakah boleh menerima suatu berita jika
berasal dari orang yang adil?
2.
Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar
Al-Qurthubi (Al-Qurthubi) menafsirkan bahwa pengetahuan akan sumber berita
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menerima berita. Dalam surah
al-Hujurat ayat 6 ini, sumber berita dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu
orang yang adil dan orang fasik. Apabila sumber berita itu berasal dari orang
yang adil, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar ataupun kecil dengan sengaja maka beritanya boleh
diterima. Meskipun begitu, kondisi kefasikan dapat terjadi pada oreang islam
yanaslinya adil sehinggaal-Qurthubi tetap mengisyaratkan agar seorang hakim
dalam mengambil keputusan harus melakukan tabayyun terhadap berita yang
diterimanya. [13]
F. Analisis Penafsiran Ayat atau Qira’ah al-Muntijah
Menurut penulis Tabayyun adalah mencari informasi yang
akurat terlebih dahulu sebelum memutuskan suatu perkara agar dikemudian hari
tidak timbul permasalahan baru seperti fitnah dan perasaan menyesal akan
keputusan yang telah di tetapkan.
Surah al-Hujurat (49): 6 termasuk ayat yang sangatlah
agung, karena mengandung pelajaran yang penting agar umat islam tidak
terjerumus ke lembah fitnah. Apabila dikaitkan dalam bidang hukum kata
fatabayyanu sangatlah pantas untuk digunakan sebagai pedoman dalam menentukan
hukum atau vonis. Karena dalam menentukan hukum seorang hakim harus mengetahui
secara detail masalah yang sedang diperselisihkan. Hal ini perlu dilakukan agar
jangan sampai seorang hakim menimpakan suatu bencana kepada suatu kaum yang
tidak diketahui keadaan yang sebenarnya, yang man nanti akan menimbulkan
penyesalan atas perbuatan yang terlanjur dilakukan dan berangan-angan sekiranya
hal itu tidak pernah terjadi.
Seorang hakim yang bertabayyun atau tidak di akhirat
nanti akan di tempatkan di tiga tempat sebagaimana hadis di bawah ini:
حدّثنا إسمعيل بن توبة حدثناخلف بن خليفت حدّثنا أبو هاشم
قال لولا حديث ابن بريدة عن أبيه عن رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال القضاة
ثلاثة اثنان فى االنار وواحد فى الجنّة رجل علم الحقّ فقضى به فهو في الجنة ورجل
قضى للناس على جهل فهو فى النّار ورجل جار فى الحكم فهو فى النّار لقلنا إنّالقاضي
إذا اجتهد فهو الجنّة ﴿رواه ابن المجة : ٢٣٠٦﴾[14]
Hadis di atas dapat dipahami bahwa ada tiga golongan
hakim yaitu seorang hakim yang akan
menempati surga yaitu hakim yang memutuskan perkara dengan ilmunya atau, dan
dua hakim yang akan menempati neraka yaitu hakim yang memutuskan perkara dengan
kebodohan dan hakim yang berlaku curang dalam memutuskan perkara.
Makna hadis di
atas dengan penafsiran surah al-Hujurat ayat 6 adalah tentang mengetahui
perkara/informasi yang sebenarnya dari sebuah masalah dan memutusakan masalah
itu dengan sebenar-benarnya. Dalam hal ini informasi yang sebenarnya dapat
diketahui dengan bertabayyun atau crosscheck terlebih dahulu. Akan tetapi hakim
yang memutuskan perkara tanpa informasi yang benar dengan tabayyun terlebih dahulu maka neraka
tempatnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:
1.
Tabayyun adalah mencari informasi yang akurat terlebih dahulu sebelum
memutuskan suatu perkara agar dikemudian hari tidak timbul permasalahan baru.
2.
Kita wajib meneliti kebenaran suatu kabar, dan jangan langsung mempercayai
orang fasik.
3.
Kewajiban tabayyun dibebankan kepada
orang yang menerima kabar dan akan menjatuhkan vonis dari pihak yang tertuduh.
4.
Seorang hakim harus bisa
mengaplikasikan sikap tabayyun ini mengingat betapa pedihnya ancaman Allah SWT
melaluli sabda Nabi Muhammad SAW bahwa seoranh hakim diancam masuk neraka
apabila tidak menetapkan hukum ilmu atau dengan bertabayyun.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa., 1946. Tafsir Al-Maraghi Juz 26, Kairo:
Musthofa Al-Babi Al-Halabi.
Al-Qurthubi, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar., 2006. Al-Jami’
li Ahkam Al-Qur’an Juz 19, Beirut: Muassasah al-Risalah.
Ash-Shobuni, Muhammad Ali., 1980. Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam
Minal Qur’an, Juz 2, Damaskus: Maktabah Al-Ghozali.
Az-Zuhalili, Wahbah., 2009. Tafsir Al-Munir Al-‘Aqidah Asy-Syari’ah Wa
Al-Manhaj, Damaskus: Darul Fikr.
Kementerian Agama R.I., 2013. Al-Qur’an
dan Terjemahannya Disertai Asbabun Nuzul, Klaten: CV. Sahabat.
Lidwa Pustaka i-Software – Kitab 9 Imam Hadits
Syukur, Abdul., 2015. Mengenal Corak Tafsir Al-Qur’an, Pamekasan:
El-Furqonia. Vol. 1, No.1.
[1]
Kementerian Agama RI, A;-Qur’an dan
terjemah disertai Asbabun Nuzul, (Klaten: CV. Sahabat, 2013), hlm.
[2]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi, Juz 26 (Kairo, Musthofa Al-Babi Al-Halabi, 1946) hlm. 126
[3] Muhammad Ali Ash-Shobuni, Rawai’ul
Bayan Tafsiri Ayatul Ahkam minal Qur’an, Juz 2, (Damaskus: Maktabah Al-Ghozali,
1980), hlm. 471.
[4] Ibid., hlm. 471.
[5] Ibid., hlm. 472.
[6] Wahbah az-Zuhaili, Tafsir
al-Munir fi al-‘Aqidah asy-Syari’ah wa al-Manhaj, (Damaskus: Darul Fikr,
2009), hlm. 555.
[7] Muhammad Ali ash-Shobuni, op.cit.,
hlm. 472
[8] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, op.cit.,
hlm. 126.
[9] Muhammad Ali ash-Shobuni, op.cit.,
hlm. 475-477.
[10]
Kementerian Agama R.I, op.cit. hlm.
[11]
Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir
Al-Qur’an”, El-Furqonia, volume I No.1, Agustus 2015, hlm 85-92.
[12] Muhammad Ali Ash-Shobuni, op.cit.,
hlm. 377-379.
[13] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin
Abi Bakar al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an Juz 19, (Beirut:
Mu’assasah al-Risalah, 2006),hlm. 369.
[14]
Lidwa Pustaka i-Software – Kitab 9
Imam Hadits